Sumber: verywell.com
Kasus bullying di sekolah, apalagi di kalangan pelajar, lama-kelamaan semakin bertambah. Tentu saja, kita semua selaku penghuni Kepulauan Indonesia ini, khawatir. Apalagi, ya, anak-anak adalah generasi penerus yang menentukan perjalanan bangsa kita akan dibawa ke mana, iyaa nggak?
Selama ini, Kemendikbud sudah berupaya untuk memberantas tindakan 'kekerasan, usil dan mengganggu' para siswanya dengan berbagai cara dan solusi. Tidak hanya itu, salah satu anggota Komisi VIII DPR ikut angkat bicara, yaitu Endang Maria Astuti. Beliau minta agar sekolah menempatkan para psikolog, juga membangun komunikasi antara siswa dan psikolog agar peran sekolah lebih maksimal.
Nah, bagaimana dengan keberadaan guru BK di sekolah?
Di setiap ruangan di sekolah (walaupun nggak semua sekolah ada sih), pasti ada ruangan khusus tempat curhat para siswa. Yap, ruang BP/BK. Pasti di ruangan tersebut ada guru BK, ‘kan? Akan tetapi, yang saya alami sewaktu bersekolah, aktivitas guru BK itu pasti ngurusin anak-anak nakal alias melakukan pelanggaran di sekolah. Jarang sekali yang mengenal potensi, kecuali penentuan jurusan sewaktu SMA. Masih ingat tidak, lembaran tentang pemilihan jurusan program studi IPA/IPS/Bahasa? Itu semua dilakukan oleh guru BK, lho!
Stigma 'mengurus anak-anak nakal' itulah yang menyebabkan tidak terlalu banyak siswa lulusan SMA yang memilih jurusan BK sewaktu kuliah. Mereka (termasuk teman-teman saya semasa SMA) kebanyakan memilih jurusan yang berada di fakultas keguruan, yaa kayak Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi, dan lain sebagainya. Ahh, terlalu mainstream! Seandainya aja sosialisasi jurusan kuliah lebih digalakkan lagi dan siswa serius mencari informasi tentang berbagai jurusan kuliah, pasti mereka memilih jurusan kuliah yang beragam, sesuai minat mereka.
Dengan demikian, sebenarnya guru-guru BK masih dibutuhkan di sekolah-sekolah di negeri ini. Akan tetapi, bagi saya, kebutihan tersebut kurang lengkap. Mengapa demikian?
Jika kita melihat kembali, tugas guru BK adalah memberdayakan kemajuan para siswa lewat potensi, bakat, minat, dan kepribadian, sedangkan psikolog sekolah bertugas untuk pengembangan siswa terkait perilaku secara efektif.
Jadi... tugas guru BK untuk mengurus masalah anak-anak nakal dan melanggar peraturan, sebenarnya kurang tepat. Harusnya ini tugasnya psikolog sekolah, ‘kan? Dengan demikian, keberadaan psikolog sekolah diharapkan bisa melengkapi tugas guru BP, sehingga para siswa bisa berperilaku lebih baik, tidak hanya di sekolah, juga di lingkungan masyarakat.
Kesimpulannya adalah, psikolog di sekolah memang dibutuhkan!
Permasalahan kebutuhan Psikolog di Sekolah
Sepanjang saya bersekolah, memang belum ada psikolog di sekolah. Apalagi di rumah sakit dan di lingkungan tempat tinggal saya serta kota terdekat, belum pernah ditemukan psikolog klinis dan psikolog pendidikan, terlebih lagi yang buka praktek. Adanya apa? Praktek dokter umum, rontgen, dan dokter gigi. Jadinya, saya yang (sempat) ingin tes bakat minat, harus mengurungkan niatnya, karena hanya satu: tak ada psikolog!
Memang sesuai ya dengan apa yang dilansir tribunnews.com, jumlah psikolog dan psikolog klinis di Indonesia berkisar 608 orang saja. Jelas nggak cukup, bukan? Bandingkan dengan jumlah sekolah yang jumlahnya jutaan. Pastinya, pemenuhan kebutuhan psikolog di sekolah adalah hal-hal yang sangat krusial.
Sayangnya, di berbagai daerah, tidak tersedia Fakultas Psikologi di universitas. Jadinya apa? Siswa yang benar-benar berminat jadi psikolog harus jauh-jauh menempuh studi di luar kota, maupun di luar daerah di mana dia berdomisili. Itu pun dibolehkan oleh orang tua. Kalau nggak? Ya terpaksa mengubur impiannya.
Karena itulah, saya kasih catatan ke pemerintah terkait: upayakan di salah satu PTN maupun PTS untuk membuka Fakultas Psikologi di daerah yang belum ada agar semakin banyak siswa yang melanjutkan studi di jurusan Psikologi tanpa terhalang jarak yang terlalu jauh. Dan tidak hanya membuka jenjang S1 Psikologi saja, juga S2 Psikologi. Lha, memangnya jenjang S2 untuk jadi dosen ya?
Di berbagai jurusan, jenjang S2 memang dipersiapkan jadi pengajar mahasiswa S1. Tapi, tunggu dulu... S2 Psikologi yang saya maksud itu, Magister Profesi, yaitu semacam jenjang yang harus ditempuh mahasiswanya untuk meraih gelar psikolog sesuai peminatan. Peminatannya ya bermacam-macam bidang, ada psikologi klinis, psikologi pendidikan, psikologi industri, psikologi sosial, dan sebagainya. Jadi mahasiswa yang menempuh jenjang S2 bisa memilih salah satu peminatan, yaa kembali ke diri mahasiswanya itu passion-nya apa.
Dan, mengapa disyaratkan jenjang S2 untuk meraih gelar psikolog? Begini, sejak awal 90-an (tahun 1992 kalau nggak salah), mahasiswa yang telah lulus S1 Psikologi sejak tahun itu sudah tidak bisa langsung jadi psikolog. Pembelajaran di kampus telah diubah. Jadi, S1 Psikologi berfokus pada mempelajari semua bidang psikologi sebagaimana yang telah saya sebut di atas. belum lagi mata kuliah filsafat (dasar-nya Psikologi), statistika, dan psikologi faal (itu loh yang membahas otak manusia). Kalau materi kuliah tentang profesi ditambahkan di S1, jadinya 'kelebihan'!
Makanya itu, permasalahan kedua adalah: waktu tempuh seorang mahasiswa untuk jadi psikolog jadi lebih lama, sehingga untuk diserap di berbagai institusi jadi lebih lambat. Lulus S1 Psikologi setelah menempuh studinya selama empat tahun, jika mampu secara keuangan, bisa meneruskan pendidikannya ke S2 Profesi selama dua tahun. Kalau hanya bermodalkan S1-nya saja, sebenarnya bisa bekerja di mana saja, paling banyak ya HRD (Human Resources Development) di perusahaan.
Nah, tantangan berikutnya untuk pemenuhan psikolog di sekolah tak berhenti sampai di situ. Banyak alumnus jurusan Psikologi yang hanya puas menggengam gelar S1-nya dan bekerja di berbagai bidang, sedangkan mahasiswa yang melanjutkan ke S2 terbilang sedikit, itu pun kalau si mahasiswanya lebih jeli melihat peluang pekerjaan sebagai psikolog yang masih terbuka lebar. Akhirnya, ada mahasiswa lulusan S1 Psikologi yang bekerja dahulu selama beberapa tahun hingga dana untuk melanjutkan ke S2 Profesi, terpenuhi. Kalau begini ya butuh waktu lebih lama lagi untuk menghadirkan psikolog di sekolah.
Mengapa bisa terjadi? Biaya studi S2 Psikologi Profesi tidaklah murah. Lebih dari 10 juta. Ya, andaikan aja orang tua lebih mengetahui dana pendidikan anak sejak dini sampai S2 atau S3, pasti tidak akan terjadi, bukan?
Oleh karena itu, hendaknya pemerintah memperbanyak beasiswa untuk mahasiswa berprestasi yang akan melanjutkan studi ke S2. Atau, ya mahasiswanya sendiri yang giat mencari beasiswa yang ditawarkan oleh berbagai pihak. Niscaya, kekurangan psikolog di sekolah dan di berbagai institusi lain bisa teratasi, bukan?
Demikianlah, semoga bermanfaat. Salam Kompasiana!
Sumber berita: okezone.com, referensi: sumber1 dan berbagai sumber lainnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H