[caption id="attachment_405344" align="aligncenter" width="500" caption="Para Umat Muslim yang akan bertugas sebagai pecalang di Bali (http://www.pksbali.org)"][/caption]
Setelah saya sebelumnya membaca artikel di koran tentang kerukunan beragama antara dua umat di Solo (kalau tidak salah membaca), di masjid dan gereja yang diantara kedua tempat ibadah tersebut ditandai oleh sebuah tugu perdamaian. Saat perayaan Idul Fitri, beberapa jemaat gereja mengawasi jalannya shalat Id dan menyediakan halaman gereja untuk tempat parkir. Begitu juga sebaliknya pada saat Natal dimana jemaat gereja beribadah di gereja di samping masjid. Hal yang sama juga pernah terjadi pada Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang terletak di pusat kota Jakarta.
Nah, pada hari raya Nyepi yang jatuh pada 21 Maret lalu, semua orang merasakan ketenangan yang berarti saat umat Hindu, umat mayoritas di Bali, melakukan empat catur brata penyepian, yaitu, tidak menyalakan api, tidak bekerja, tidak berpergian, dan tidak bersenang-senang. Semua diam untuk menginstropeksi diri dan dilarang keluar rumah selama seharian penuh. Di Bali, ada pengawas yang memantau suasana Nyepi, yang disebut pecalang. Para pecalang pada umumnya dipilih oleh warga setempat, terutama pemuka adat.
Karena para pecalang tersebut kebanyakan beragama Hindu, otomatis mereka tidak bisa merayakan nyepi bersama keluarga, karena tugasnya hanya memantau dari luar rumah dan tidak melakukan introspeksi diri beserta keluarga. Namanya juga adat istiadat, ya mau tidak mau, tugas tetap harus dijalankan.
Oleh karena itu, sebagian umat Muslim di Denpasar, Bali, juga bertugas menjadi pecalang pada hari raya Nyepi untuk menjaga kedamaian, suasana lingkungan dan kerukunan beragama di Bali saat kebanyakan warganya melaksanakan catur brata penyepian. Toh, penduduk Bali tidak hanya yang beragama Hindu saja, ada juga yang beragama Islam, Katolik, Kristen, Buddha, dan Konghuchu. Meskipun demikian, penduduk non-Hindu di Bali tetap menghargai umat Hindu yang sedang beribadah, termasuk para wisatawan dengan dilarang keluar rumah dan membuat kegaduhan.
Terlepas dari kasus pelarangan jilbab pada pelajar muslimah di Bali tahun lalu, warga Bali tetap menghargai perbedaan diantara manusia Indonesia, negara yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Kehadiran umat Islam sebagai pecalang di Bali semakin memperkuat bahwa toleransi beragama masih ada di Bali, juga seluruh daerah di Indonesia. Oleh karena itu, apa yang dilakukan umat muslim di Bali dapat ditiru oleh warga Indonesia dalam menghargai perbedaan, baik suku, budaya, maupun agama. Semoga toleransi beragama tetap dijaga selalu, sehingga tidak ada konflik yang terjadi di Indonesia.
Sumber: http://www.islamedia.co/2015/03/kader-muslim-pks-bali-menjadi-pecalang.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H