Manusia itu abu-abu. Namun, hati nurani tetap lah hati nurani-yang mungkin saja menyimpan kebenaran hakiki.
"Hard times arouse an instinctive desire for authenticity."Â - Coco Chanel
Jumat malam (18/10/11) kemarin, saya dan beberapa teman dari kampus, akhirnya menyempatkan diri untuk datang ke salah satu pertunjukkan yang diadakan di salihara. Hari itu kali pertamanya saya berkesempatan mengunjungi komunitas seni ini untuk menonton sebuah teater monolog yang berjudul "Karna." Siapa kah Karna? Nama yang sudah sering saya dengar sejak kecil dan hampir selalu disebut-sebut oleh Bapak saya. Ya, ia adalah salah satu tokoh wayang yang diceritakan dalam kisah Mahabharata. "Karna itu kakaknya Arjuna," begitu kalau kata Bapak saya, sebuah julukan yang ironis, kalau mengingat di tangan siapa Karna akan mati saat Perang Baratayudha. Mungkin, kebanyakan orang lebih familiar dengan nama itu, Arjuna, ke-tiga dari Pandawa yang mahir menggunakan panah, ksatria sejati yang sederhana, dan tak tertandingi. [caption id="" align="aligncenter" width="250" caption="Adipati Karna"][/caption] Karna adalah "aku bukan anak yang hilang, aku anak yang dihilangkan," begitu kata Sitok Srengenge pemeran Karna kepada Kunthi (Niniek L Karim) dalam teater tersebut. Ia seharusnya berada di urutan paling depan, sebelum Yudhistira, mengawal adik-adiknya Para Pandawa. Ia adalah anak dari Dewi Kunthi dan Batara Surya. Namun, pada kenyataannya, Karna harus menghabiskan masa awal hidupnya dengan seorang kusir kereta dan istrinya, dari keluarga Sudra, dan diberi nama Bambang Radea. Yang paling saya suka dari pertunjukkan itu adalah Radha (Sita Nursanti), ibu yang membesarkan Karna. Â Seperti layaknya seorang ibu, Radha begitu menyayangi Radea. "Saat menemukannya di Sunga Gangga, aku tidak tahu bagaimana caranya menyusui, aku tidak tahu bagaimana cara mengasuhnya. Yang aku tahu, aku bisa menjadi ibu yang lebih baik dari ibu yang melahirkannya." Karna, yang selalu ingin menjadi seorang ksatria itu, diam-diam sering memperhatikan para ksatria yang sedang belajar. Ia belajar strategi perang dengan seorang Brahmana, Resi Parasurama (Whani Darmawan). Radha mencoba mengingatkan Radea untuk menyadari kastanya. Radea berkata, "Ibu, Ilmu itu tidak mengenal kasta dan harta. Oleh karena itu, hanya dengan ilmu lah kita dapat bergerak dengan bebas." Kunthi memberitahu Karna siapa dirinya yang sebenarnya sebelum Perang Baratayudha meletus. Pelan-pelan dewi itu mengatakan kebenaran di hadapan Karna. Sebuah negosiasi implisit (atas campur tangan Sri Kresna) yang mungkin saja bisa mempersatukan ibu dan anak yang telah lama terpisah. Karna termangu mengetahui kenyataan itu. Dilema-memilih kembali berkumpul bersama Kunthi dan Pandawa atau tetap bersama Kurawa yang telah meninggikan derajatnya. Pada akhirnya, "Meskipun aku berada di pihak Kurawa, dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku tetap bersama Pandawa." "Arjuna akan membunuhmu!" (Kunthi) "Aku akan membunuh Arjuna." (Karna) "Aku akan kehilangan satu anakku..." (Kunthi) Surtikanti (Putri Ayudya), istri karna tersedu membaca surat terakhir dari suaminya. Sebuah kata pamit untuk berperang. Seorang laki-laki sejati itu, dalam angkuh dan ambisinya, Karna menyimpan rasa takut dan kesedihan ketika harus berpisah dengan wanita kesayangannya, "Satu hal yang membuatku sedih, ketika aku tak lagi bisa memandangmu ketika kau memandangku."
*
Cukup... Kalimat terakhir yang diucapkan Karna dalam suratnya itu cukup membuat siapapun yang mendengarnya mengerti sosok seperti apakah Karna itu sebenarnya. Sosok yang memiliki pendirian dan sikap, meskipun hati nuraninya berkata lain. Semua demi balas jasanya terhadap Duryudana yang telah mengangkatnya menjadi seorang Adipati saat semua orang meremehkan Radea karena kastanya. Ia adalah sosok pemberani yang mampu menunjukkan dirinya yang otentik. "Tuan-tuan memiliki dua perisai, keahlian dan kasta. Tapi, aku hanya punya satu. Dengan begitu, tuan-tuan dapat melihat diantara kita, siapakah pemberani yang sesungguhnya."
"The privilege of a lifetime is to become who you truly are." - C.G. Jung
*Dalam Perang Baratayudha, Karna tumbang oleh panah Arjuna yang menebas leher dan memisahkan kepala dari badannya. Maktub. Matraman, 20 November 2011 DWS *Pementasan teater "Karna" diperpanjang sampai dengan Senin, 21 November 2011. Sila cek link ini:Â http://salihara.org/event/2011/10/20/karna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H