Mohon tunggu...
dewi lestari
dewi lestari Mohon Tunggu... -

lahir dan besar di jakarta, smpn 49 (1983-1986), SMA 14 (1986-1989), STAN - akuntansi (1989-1992), STIE YAI (1995-1997), sekolah terakhir di Magister Perencanaan & Kebijakan Publik UI (2006-2008), sekarang bekerja sebagai pegawai

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pegawai Pajak Tidak Usah Bela Diri?!! (Tanggapan atas "Pegawai Negeri Pintar Cari Duit")"

1 April 2010   14:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:03 1996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tulisan-tulisan di atas bukan dimaksudkan membela diri, tapi tulisan-tulisan ini hanya untuk memberikan cek & balancing dari pemberitaan gayus ini. Sudah 1-2 minggu ini, media begitu getol membombardir publik dengan informasi gayus yang otomatis menyorot instansi pajak. Akibatnya informasi yang disajikan media jadi berat sebelah. Yah bagaimana lagi, Bad News adalah good news dari sisi media. Akibatnya 32000 pegawai pajak ikut terhukum bersama gayus

Maka sekan-akan apa yang kami telah lakukan tidak ada artinya lagi. Maka menurut saya, wajar kalau kami yang berkecimpung di dalam memberi informasi yang berimbang, bahwa kami manusia juga yang sudah berbenah.

Kami telah berubah sejak reformasi dijalankan di tahun 2002. Sejak kami menandatangani kode etik dan mengucapkan sumpah jabata yang bukan basa-basi di hari pelantikan kantor dikukuhkan menjadi kantor pajak modern.

Sebelum kasus gayus ini muncul, imej pajak dan pegawai telah menjadi lebih baik. Dulu orang ngeri ke kantor pajak, tapi sekarang kantor pajak telah berubah wajah menjadi lebih humanis, hangat dan ramah, sejalan dengan visi DJP yaitu ingin menjadi institusi pemerintah yang menjalankan sistem admiinistrasi perpajakan modern yang dipercaya masyarakatdengan integritas dan profesionalitas tinggi. Sudah banyak masyarakat pembayar pajak yang mengakui hal itu.

Gayus itu bukan cerminan umum pegawai pajak di zaman reformasi ini. Yang diceritakan Tyas itu benar adanya. Memang seperti itu keadaan umum di kantor saya, juga kantor pajak lainnya. Banyak kisah keluarga yang terpisah (karena mutasi DJP yang setiap 2 atau 3 tahun), yang harus mengatur take home pay supaya cukup dipakai pulang kampung tiap minggu. Silahkan mampir di stasiun senen. Disitu setiap jumat malam jam 7 ada beberapa teman saya yang sedang menunggu kereta senja utama tujuan Solo/Semarang/Yogya . Jangan pula dibayangkan bahwa Gayus yang golongan IIIa saja punya uang 28 M, apalagi yang bergolongan di atasnya. Sama sekali tidak seperti itu. Banyak dari rekening BRI pegawai pajak yang saat ini tanggal 1 April sudah bersaldo minimal, karena sampai jam 1 siang tadi, gaji dan tunjangan masih belum masuk. Seorang Kepala seksi di tempat saya masih 5 tahun lagi baru dapat mencukupi tabungan ONHnya. Ini potret umum kehidupan pegawai pajak yang sekarang. Untuk lebih mengenal keseharian pegawai pajak dapat dibaca dari buku berkah yang merupakan pengalaman dan kisah nyata dari pegawai pajak selama kantor pajak mengadakan modernisasi. Silahkan baca di http://www.4shared.com/file/174003916/d008994c/Buku_Berkah_Modernisasi.html?s=1

Tapi lantaran bombardir media yang begitu hebatnya, masyarakat menuding kami semua seperti gayus, komplotan Gayus, kaki tangan gayus, atau anteknya gayus. Teman pemeriksa pajak menjadi ketakutan. Bagaimana tidak, karena mereka sudah dituding seakan akan menjadi kaki tangan gayus untuk menyediakan bahan baku koreksi yang akan dinegosiasikan dengan hakim pengadilan. Padahal, kenal pun tidak dengan gayus.

Keseharian kami jadi dipenuhi berbagai sindiran gayus. Kenek metro mini S640 jurusan pasar minggu tanah abang sudah mengenerikkan nama gayus pada halte di depan kantor pusat DJP Gatot Subroto, yang tadinya bernama halte pajak. Teman saya yang juga sederhana bercerita, bahwa istrinya yang terpaksa ditinggal di kampung, disindir tetangganya dengan memanggilnya sebagai Bu Gayus. Teman yang lain dengan masgul bercerita bahwa anaknya mogok sekolah karena dipanggil anak penyamun.

Tak kami pungkiri bahwa di sana sini mungkin ada beberapa orang pegawai pajak yang berlebihan menurut ukuran gaji pegawai pajaknya. Tapi menyamaratakan semua pegawai pajak seperti oknum Gayus, menusuk rasa keadilan kami.

Bukannya membanggakan diri. Tetapi DJP lebih sigap untuk melakukan pembersihan dibanding polisi dan kejaksaan/kehakiman . Sudah 10 orang teman kami ( 1 orang eselon 2, 4 orang eselon 3 dan 5 orang eselon 4) yang dinonaktifkan dengan ancaman pemecatan tak hormat. Tadi siang Pak Dirjen menyerahkan 15000 nama pegawai pajak yang dalam tugasnya berhubungan langsung dengan wajib pajak kepada PPATK untuk diperiksa apakah rekening bank kami mengandung keanehan ala Gayus. SPT kami pun juga diperiksa 3 tahun ke belakang.

Bandingkan dengan kepolisian yang hanya menonaktifkan 1 orang kompol, atau kehakiman yang sudah haqul yakin menyatakan tak ada aliran suap kepada hakim mereka atau kejaksaan yangbelum kelar juga mengeksaminasi. Padahal mafia di antara mereka lebih heboh lagi. Belum lagi pihak pengadilan pajak yang belum memberi pernyataan apa-apa padahal ditengarai pihak mereka yang bermain lebih jahat. (Sebagai informasi : pengadilan pajak adalah badan diluar institusi DJP, sebagian hakim diambil dari DJP, sebagian lagi dari pihak luar), dan jangan lupa, ada pihak Wajib Pajak yang juga belum melakukan apa –apa padahal sudah berani menyogok gayus puluhan milyar ( yang berarti pajak yang mereka kemplangbernilai jauh di atas itu). Tapi media dan masyarakat lebih suka mengarahkan tudingan kepada gayus dan DJP. Mengapa hanya pegawai pajak yang serta merta digayuskan. Mengapa pula tidak menggayuskan institusi lain, yang jelas-jelas ikut bermain bersama Gayus?

Jadi tulisan ini sekali lagi mencoba memberi informasi yang berimbang, yang merupakan syarat dari pemberitaan yang berimbang. Bagaimanapun masih sangat banyak masyarakat yang awam mengenai pajak. Buat mereka, membayar pajak berarti membayar ke kantor pajak dan uang pajak mereka masuk ke kantong pegawai pajak. Padahal hal ini salah sama sekali. Hujatan bahwa buat apa membayar pajak kalau akhirnya dikorupsi orang pajak juga salah. Uang pajak dibayar langsung ke kas Negara melalui bank.Jangankan pegawai pajak , presiden pun tak akan bisa mengutak-ngatik uang pajak di kas Negara ini tanpa mendapat persetujuan DPR melalui pengesahan APBN.

DJP tidak punya mempunyai media eksternal sebagaimana media masa , sehingga DJP tidak dapat membentuk opini yang berimbang. Opini yang saat ini terbentuk murni dari satu sisi saja, yaitu sisi media yang haus berita bombastis. Maka sah saja kiranya kami menjadi agen informasi penyeimbang, bahwa masih besar harapan untuk membentuk DJP yang bersih dan berwibawa, yang mampu mengawal pengamanan penerimaan pajak sampai nanti dan seterusnya.

Salam Reformasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun