Mohon tunggu...
dewi lestari
dewi lestari Mohon Tunggu... -

lahir dan besar di jakarta, smpn 49 (1983-1986), SMA 14 (1986-1989), STAN - akuntansi (1989-1992), STIE YAI (1995-1997), sekolah terakhir di Magister Perencanaan & Kebijakan Publik UI (2006-2008), sekarang bekerja sebagai pegawai

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lika-Liku Transfer Pricing, Mengendus Penghindaran Pajak Melalui Manipulasi Transfer Pricing (Bag.I Teori)

1 April 2010   04:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:04 11283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak sangatmenyadari praktik penghindaran pajak dengan melakukan manipulasi Transfer Pricing (TP). Disebut menghindari pajak (tax avoidance), karena penghindaran tersebut masih dilakukan dalam koridor peraturan pajak yang berlaku. Praktik ini terutama dilakukan oleh perusahaan multinational. Tujuan utama dari manipulasi transfer pricing tentu saja adalah pergeseran penghasilan kena pajak.

Menurut hasil riset dari Her Majesty Revenue Center (HMRC), Inggris danInternal Revenues Service (IRS), USA, beberapa indikator dari manipulasi transfer pricing adalah sebagai berikut.

1.SPT Tahunan PPh Badan melaporkan rugi dalam beberapa tahun berturut-turut.

2.Peredaran usaha tinggi tapi laba yang diperoleh kecil

3.Transaksi hubungan istimewa atau transaksi antar afiliasi yang cukup besar

4.Tingkat kemampu-labaan buruk dibandingkan dengan perusahaan sejenis

5.Rugi yang tidak dapat dijelaskan

6.Memiliki perusahaan afiliasi di Negara Tax haven

Dari tahun pajak 2001 sampai dengan tahun pajak 2006, kerugian akumulatif Perusahaan multinasional mencapai lebih dari Rp 52,57 Triliun. Ini berarti potensi kerugian pajak sebesar hampir Rp. 12,77 Triliun atau Rp. 2,62 Triliun per tahun.

Apa dan Bagaimana Transfer Pricing

Transfer pricing adalah harga transfer dari barang/jasa atau aktiva tak berwujud (intangible property) yang ditransfer antarperusahaan afiliasi dalam satu grup perusahaan atau antar divisi dalam satu perusahaan. Semula transfer pricing digunakan untuk kepentingan penilaian tingkat kemampu-labaan masing-masing divisi atau masing-masing perusahaan afiliasi yang terlibat dalam transaksi afiliasi. Tetapi sejalan dengan makin besarnyaperusahaan multinasional, perbedaan tarif pajak antar negara dan perencanaan pajak yang makin komprehensif, maka transfer pricing digunakan sebagai alat untuk menggeser penghasilan kena pajak dari suatu negara ke negara yang tarif pajaknya lebih rendah, atau dari perusahaan yang berada daalam posisi laba ke perusahaan afiliasi yang masih mengalami kerugian.

Hal Penting dalam Masalah Transfer Pricing

I.Hubungan Istimewa

Fokus dalam masalah transfer pricing tentu saja transaksi afiliasi atau transaksi yang dilakukan antara pihak yang memiliki hubungan istimewa. DJP telah menggariskan ketentuan mengenai hubungan istimewa ini dalamPasal 18UU PPh yaitu sebagai berikut.

Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:

}Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;

}Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

}Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garisketurunan lurus dan/atau ke samping satu derajat

II.Perbandingan

Sebenarnya, sepanjang harga transfer dilakukan dengan harga wajar (Arm’s Length Price- ALP), yaitu harga yang ditetapkan seandainya pihak-pihak yang bertransaksi tidak berafiliasi atau tidak memiliki hubungan istimewa, maka tidak ada masalah dengan transfer pricing ini.Karena itu DJP mensyaratkan Wajib Pajak yang memiliki transaksi afiliasi untuk mengisi Lampiran Khusus Pernyataan Transaksi Hubungan Istimewa. Dalam lampiran tersebut, Wajib Pajak harus mengisi jenis transaksi (penjualan/pembelian/jasa), jumlah nominal transaksi afiliasi dan metode harga transfer yang digunakan untuk setiap jenis transaksi.

Wajib Pajak harus dapat menyampaikan bukti bahwa harga transfer yang digunakan dalam transaksi afiliasi adalah harga wajar, yaitu dengan cara melakukan perbandingan. Sesuatu yang dapat diperbandingkan adalah sebagai berikut.

1.Apabila terdapat perbedaan, maka perbedaan ini tidak akan mempengaruhi kondisi yang diperbandingkan (misalnya harga, laba kotor, dll).

2.Penyesuaian perbandingan dapat dilakukan untuk menghilangkan beberapa perbedaan dalam proses perbandingan.

3.Kondisi yang dapat diperbandingkan bukan berarti bahwa kondisi tersebut identik, tetapi perbandingan tersebut haruslah dapat diandalkan dan masuk akal.

Sedangkan menurut paragraf 1.19 -1.35 OECD Guidelines, faktor yang menentukan keterbandingan adalah sebagai berikut.

1.Karakteristik dari barang/jasa/Aktiva tak berwujud

2.Analisis fungsional yaitu analisis fungsi (apakah perusahaan memiliki fungsi yang sama seperti fungsi pabrikasi, distribusi, marketing, riset,dll), analisis resiko (resiko bisnis, resiko pasar, resiko pabrikasi, resiko selisih kurs, resiko persediaan, resiko kredit, dll) dan analisis aset ( besaran asset yang digunakan seperti pabrik dan peralatan, kepemilikan Aktiva tak berwujud, dll).

3.Syarat/kontrak transaksi

4.Keadaan ekonomi

5.Strategi bisnis

Selain kelima faktor penentu keterbandingan di atas, terdapat beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan juga seperti kebijakan pemerintah, penilaian bea cukai, dll.

Data yang digunakan untuk melakukan perbandingan sebaiknya berasal dari beberapa tahun misalnya data tahun 2006 sampai dengan 2008. Lebih baik lagi apabila data berasal dari data perusahaan publik yang dapat diakses oleh setiap orang, sehingga tidak ada pelanggaran atas rahasia jabatan.

Perbandingan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1.Perbandingan internal : membandingkan transaksi afiliasi dengan transaksi biasa yang dilakukan oleh perusahaan yang sama. Contoh: harga jual PT A atas barang X ke afiliasi A dibandingkan dengan harga jual barang X ke perusahaan pihak ketiga

2.Perbandingan eksternal : membandingkan transaksi afiliasi dengan transaksi biasa yang dilakukan oleh perusahaan berbeda. Contoh: harga jual PT A atas barang X ke afiliasi A dibandingkan dengan harga jual PT B atas barang X ke perusahaan pihak ketiga

Hasil perbandingan akan menghasilkan apa yang disebut Arm’s Length Range (ALR), yaitu kumpulan dari harga wajar dari perusahaan-perusahaan sejenis yang dibandingkan, mulai dari tertinggi sampai yang paling rendah. Koreksi atas ketidakwajaran harga transfer dapat dilakukan berdasarkan pada ALR ini, yaitu dengan mengambil titik terendah dari ALR, titik tertinggi, rata-rata, atau titik tengah dari ALR. Tetapi, jangan lupa, penentuan titik mana dalam ALR yang akan digunakan sebagai dasar koreksi transfer pricing, haruslah sudah ditentukan oleh peraturan perundangan.

I.Pemilihan Metode Harga Transfer

Setelah melakukan perbandingan, maka tahap berikutnya adalah memilih metode Transfer Pricing yang paling cocok untuk setiap transaksi afiliasi perusahaan, yaitu sbb 1. Metode Comparable uncontrolled price (CUP) : yaitu metode harga sebanding, yaitu bila terdapat harga pembanding untuk barang/jasa sejenis. Fokus adalah pada produk/jasa. 2. Metode Cost plus (CPM) : yaitu membandingkan margin kotor dari harga pokok (cost plus). Bila tidak memiliki harga pembanding baik internal maupun eksternal, maka dapat menggunakan metode perbandingan margin kotor, bagi perusahaan dengan memiliki fungsi sama. misalnya margin kotor antar perusahaan manufaktur 3. Metode Resale price (RPM) : yaitu membandingkan gross margin profit dari harga jual.cocok digunakan perusahaan distributor 4. Metode Transactional Net Margin (TNMM) : yaitu bila tidak tersedia data pembanding untuk gross margin , maka digunakan net margin sebagai pembanding 5. Metode Profit split : yaitu membandingkan laba yang seharusnya diperoleh bagi fungsi yang dijalankan perusahaan, misal perusahaan manufaktur yang tidak menjalankan fungsi riset, sewajarnya memperoleh bagian laba dibanding perusahaan induk yang menjalankan fungsi riset dan memikul resiko atas riset tsb.

Misalnya untuk transaksi pembelian bahan baku dari perusahaan afiliasi dari sebuah perusahaan manufaktur. Apabila perusahaan manufaktur tersebut memiliki harga pembanding dari perusahaan manufaktur lain (tested party) untuk bahan baku yang dibeli, dengan jenis barang dan kontrak pembelian yang sama, maka untuk pembelian bahan baku tersebut dapat menggunakan metode CUP. Sebaliknya, bila tidak tersedia data harga pembanding untukbarang dan syarat pembelian yang sama, maka perusahaan manufaktur tersebut dapat mencoba metode CPM, yaitu dengan mencari gross profit margin pembanding dari perusahaan manufaktur sejenis (kesamaan fungsi). Selanjutnya untuk perusahaan distributor, atau perusahaan dengan fungsi distributor, dapat menggunakan RPM, yaitu membandingkan harga jual ALP dikurangi dengan margin harga jual kembali.

Apabila rasio laba kotor tidak memiliki pembanding, maka dapat menggunakan metode TNMM, yaitu dengan menggunakan Profit Level Indicator (PLI) sebagai dasar perbandingan. Hanya saja, perlu diingat bahwa PLI yang digunakan haruslah konsisten dengan pembandingnya, fokus pada nilai utama dari transaksi tertentu, dapat diukur dan diperbandingkan. Beberapa PLI yang dapat digunakan antara lain Berry Ratio ( Laba Kotor/biaya usaha), Cost Plus Margin ( Laba Kotor/Harga Pokok Produksi), Net Cost Plus Margin (Laba Usaha/ (HPP + Biaya usaha), Operating Margin ( Laba Usaha/Penjualan), Return on Assets ( Laba Usaha/Aktiva Usaha).

Kerumitan transaksi antar perusahaan afiliasi ditambah lagi dengan banyaknya transaksi atas aktiva tak berwujud atau Intangible Property (IP). Contoh yang paling umum adalah pembayaran royalti, jasa managemen, jasa teknis, dll. Di sini kembali harus diperhitungkan dengan cermat metode harga transfer yang digunakan.

Berkaitan dengan kedudukan perusahaan induk sebagai Holding company, maka terkadang perusahaan subsidiari diwajibkan untuk membayar beberapa jenis biaya kepada perusahaan induk antara lain Intra-Group Services, Management Fee, Cost Contribution Service atau secara singkat disebut Cost Contribution Arrangement (CCA). Sepanjang biaya tersebut memang berhubungan dengan kepentingan perusahaan subsidiary, maka biaya tersebut diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan. Hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut.

1.Menentukan apakah pemberian jasa internal benar-benar dilaksanakan

2.Mengidentifikasikan penghitungan pembebanan biaya intragroup service

3.Menghitung harga wajar dari transaksi tersebut

Selain biaya intragroup service, terdapat pula alokasi biaya yang dibebankan oleh perusahaan induk kepada perusahaan subsidiary. Pembebanan Alokasi Biaya ini dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak sepanjang memang perusahaan subsidiary menerima manfaat dari alokasi biaya tersebut dan alokasi biaya dilakukan berdasarkan biaya actual yang dikeluarkan oleh perusahaan induk.

II.Mekanisme Pemecahan Masalah Keberatan Antar Negara

Perlu diingat bahwa masalah transfer pricing bukan hanya masalah dari satu Negara saja, tetapi dapat menyangkut kepentingan pajak dari Negara lain. Contoh, apabila otoritas pajak Negara A melakukan koreksi atas transfer pricing yang berkaitan dengan transaksi dengan perusahaan afiliasi di Negara B, maka pada hakekatnya, perusahaan afliasi di Negara B dapat mengajukan koreksi negatif atas penghasilan yang telah dilaporkan kepada otoritas pajak Negara B sesuai dengan besaran koreksi transfer pricing dari otoritas pajak Negara A. Untuk keperluan ini, OECD Model Convention Article 25 telah menetapkan prosedur yang harus ditempuholeh kedua otoritas pajak Negara yang bersangkutan dalam apa yang disebut Mutual Agreement Procedure(MAP). Petunjuk umum prosedur MAP ini dapat dilihat di www.oecd.org/ctp/memap

III.Ketentuan mengenai Transfer Pricing dalam peraturan perundang-undangan DJP dan Permasalahannya

Saat ini, peraturan yang menjadi dasar untuk melakukan koreksi Transfer Pricing sebagai berikut.

}Pasal 18 ayat (3) UU PPh

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya

Masalah: tidak ada peraturan pelaksanaan lain yang secara tegas mengatur bagaimana koreksi TP dilakukan. UU Pajak negara Jerman, Thailand, Amerika, Malaysia telah mengatur bahwa Aparat Pajak dapat mengoreksi harga wajar ke harga wajar rata-rata dalam Arm’s Length Range

}Pasal 18 ayat (3a) UU PPh

(3a)Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir

Masalah: tidak ada peraturan pelaksanaan untuk implementasi dari Advanced Pricing Agreement (APA), meskipun APA sudah diperkenalkan sejak tahun 2001

}Pasal 18 ayat (3b) UU PPh

(3b)Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga

}(3c)Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau Special Purpose Company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.

}(3d)Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.

}Pasal 2 UU PPN

Dalam hal harga jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.

}Kepdirjen no. Kep-01/PJ.7/1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa

}SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-kasus Transfer pricing

}Pasal 9 ayat (1) tax treaty OECD model

Dalam hal syarat yang dibuat atau diberlakukan oleh 2 (dua) perusahaan dalam hubungan dagang dan hubungan keuangan di antara mereka, yang berbeda dengan syarat apabila transaksi tersebut dilakukan antar perusahaan yang tidak memiliki hubungan istimewa, maka setiap laba yang seharusnya diterima oleh salah satu perusahaan jika syarat-syarat itu tidak ada, namun tidak diterimanya karena adanya syarat-syarat tersebut, dapat ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenakan pajak yang pantas

}Pasal 16 PP 80/2007

(2) Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

}(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengelolaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Masalah :

1.Belum ada ketentuan lebih lanjut yang mengatur bagaimana Wajib Pajak harus membuat dokumentasi mengenai transaksi hubungan istimewa

2.Tidak ada ketentuan yang menyebutkan sanksi hukum apabila Wajib Pajak melanggar ketentuan tersebut

3.Bila DJP menerapkan aturan yang tegas dalam hal dokumentasi transaksi hubungan istimewa ini, maka beban pembuktian bahwa transaksi hubungan istimewa dilakukan dengan harga wajar (ALP) berada pada Wajib Pajak. Sebaliknya, bila tidak ada aturan yang tegas, maka beban pembuktian tersebut bergeser pada DJP, untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak tidak menggunakan harga wajar dalam bertransaksi dengan pihak hubungan istimewa.

IV.Masalah Lain : Wajib Pajak tidak mengerti dan/atau Mengabaikan Urusan Transfer Pricing

Dari pengalaman berinteraksi dengan Wajib Pajak, ternyata banyak Wajib pajak yang tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti atau acuh terhadap masalah transfer pricing ini. Meskipun Wajib Pajak mengisi Lampiran Khusus Pernyataan Transaksi Hubungan Istimewa, tetapimereka tidak mengerti apa konsekuensi dari Lampiran SPT yang mereka isi tersebut. Sebagai contoh, sebuah perusahaan besar yang terdafatar di KPP Wajib Pajak Besar, menyatakan dalam Lampiran tersebut bahwa mereka menggunakan metode CUP. Karena seluruh penjualan/pembelian dilakukan kepada perusahaan afiliasi, maka sudah tentu Wajib Pajak ini sama sekali tidak memiliki harga pembanding baik pembanding internal maupun eksternal untuk setiap jenis barang yang mereka beli atau jual dari/kepada perusahaan afiliasi. Mereka juga tidak mengadakan dokumentasi atau catatan mengenai transaksi ini. Bahkan, Wajib Pajak juga tidak mengerti bahwa untuk dapat diperbandingkan, Wajib Pajak perlu membuat Analisis Kesebandingan dalam hal fungsi, aset dan resiko.

Begitu pula dengan Kantor Akuntan Publik yang mengeluarkan Laporan Audit atas perusahaan tersebut. Meskipun dalam laporan audit, nyata-nyata disebutkan bahwa transaksi antar afiliasi dilakukan berdasarkan harga wajar, tetapi akuntan publik tersebut belum tentu melakukan pengujian harga wajar sebagaimana yang disebutkan pada PSAK no 7. Pengujian yang mereka lakukan hanya sebatas pada jumlah transaksi afiliasi tersebut dan harga yang dibayarkan, bukan pada kewajaran harga.

bersambung.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun