Baik Pangeran Cakrabuana maupun Syarif Hidayat sesungguhnya tetaplah menghormati Prabu Siliwangi, masing-masing sebagai ayah dan kakek. Sehingga pada perkembangannya hubungan buruk antara Pajajaran dan Cirebon tidak sampai menjurus ke arah yang melumpuhkan pemerintahan. Prabu Siliwangi hanya kurang menyukai hubungan Cirebon-Demak yang terlampau akrab, bukannya kurang menyukai Kerajaan Cirebon itu sendiri. Bahkan terhadap ajaran Islam pun Prabu Siliwangi tidak keberatan. Apalagi salah satu permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslim. Prabu Siliwangi juga mengijinkan ketiga anaknya untuk mengikuti ajaran agama sang ibu sejak kecil.
Adanya perbedaan pandang dan keyakinan, namun tidak sampai menyebabkan pertumpahan darah, merupakan alasan mengapa masa pemerintahan Prabu Siliwangi sering digambarkan sebagai masa yang penuh keadilan dan toleransi. Kejujuran dan keadilan merupakan titik berat pada masa pemerintahan beliau. Tak heran jika sampai hari ini, hingar bingar kebesaran nama beliau masih terasa, meskipun ratusan tahun telah berlalu sejak Prabu Siliwangi memutuskan untuk moksa atau menghilang dari alam nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H