Kelandis, 3 Maret 1917 tempat ia lahir. Menjadi penari legong adalah pekerjaannya, penari adalah pekerjaan menjanjikan kala itu, apa lagi kondisi ekonomi keluarganya yang rendah hingga ia mampu membantu sedikit ekonomi keluarganya.
Ni Pollok, seorang penari legong termahsyur pada saat itu. Memiliki paras ayu dan manis, bertubuh jangkung dan lampai. Kecantikan inilah yang menjerat seorang seninman asal Belgia yaitu Adrien-Jean Lee Mayeur de Mepres lahir di Brussel pada 9 Februari 1880, yang kerap dipanggil Tuan oleh Ni Pollok.
Tak hanya itu, sejak pertama melihat Ni Pollok dan berkenalan akhirnya Ni Pollok resmi bekerja sebagai model lukisan Lee Mayeur. Kecintaan Le Mayeur pada pulau Dewata menjadikan ia memutuskan tinggal di Bali tepatnya di sekitar pantai Sanur. Seperti kata pepatah Jawa “Witing tresno jalaran soko kulino” yang berarti cinta hadir karena terbiasa bersama. Seniman dan model dua hal yang selalu bersama dari sinilah cikal-bakal tumbuhnya benih-benih cinta di antara Lee Mayeur dan Ni Pollok. Hingga keduanya memutuskan menikah menggunakan adat Bali. Le Mayeur diceritakan dalam buku “NI POLLOK MODEL DARI DESA KELANDIS” karya Yati Maryati Wiharja sebagai sosok laki-laki yang penyayang, sabar, keras kepala, irit bicara namun romantis. Kehidupan pernikahan keduanya cukup berjalan lancar, tak begitu banyak ombak dan badai kuat yang menerpanya.
Kendati menjadi istri seorang seniman tentunya Ni Pollok masih menjadi modelnya. Kecantikan tubuh sang istri tak dapat dipungkiri. Buah dada bulat nan ranum itu sungguh memanjakan mata selaras dengan keindahan pantai Sanur kala itu. Pameran lukisan Le Mayeur terjual mahal di Singapura, sejak saat itu pula nama Ni Pollok terkenal di Kancah manca negara hingga ia disebut Madame Pollok.
Kebahagiaan dan kemewahan itu terasa hampa, entah rasa segan terhadap Lee Maeyur sang suami atau terbutakan oleh cinta sehingga Ni Pollok mengamini perkataan Le Maeyur “Sudahlah Pollok, mari kita mengabdikan seluruh hidup pada seni”. Mendengar perkataan itu dari orang yang dicintainya tentu menusuk relung hatinya. Keriuan terus menghampiri Pollok, hatinya terluka, dan hampa rasanya merasa dicintai dan diperbudak secara bersamaan. Menyesal itu tak berarti lagi, hanya pilu membiru menghampiri memeluk sanubari Ni Pollok. Aku manusia, aku perempuan, terlebih aku perempuan Bali. Hidupku tak berarti jika aku tak punya bayi. Perasaan ini terus menghantui Ni Pollok. Akankah cinta suci berujung ambisi menjadi alasan ia tersaikiti selama ini?
Peristiwa yang dialami ni Pollok ini ramai dengan berita akhir-akhir ini tentang Fenomena Child Free. Ah, mendengarnya cukup ngeri memang. Persoalan child free atau tidak ini hanya tentang mind set atau pemikiran saja. Sebagai manusia tentunya meneruskan keturunan itu perlu, ketakutan-ketakutan tidak manusiawi itu tak akan terwujud selama angka kelahiran dapat dikendalikan.
Cinta yang dikenal indah ternyata tak selamanya indah hanya berisikan, sunyi dan kerisauan hati. Cinta sebenarnya adalah senyuman sehangat buah hati, buah cinta kami. Naas itu tidak dirasakan oleh Ni Pollok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H