Mohon tunggu...
Dewi Sinta Putri
Dewi Sinta Putri Mohon Tunggu... karyawan -

Si tukang mengkhayal yang lebih senang melukis kata daripada bicara.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Andai Bahasa Itu Emas 24 Karat

24 September 2012   15:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:47 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sedikit bertanya kepada diri sendiri, apakah arti bahasa sesungguhnya? Sudahkah diri ini bangga akan bahasa pribumi? Sudahkah pribadi ini berbahasa dengan baik? Sudahkah raga ini menghargai bahasa sendiri?

Kemudian pertanyaan lain berdatangan satu demi satu. Sudahkah bahasa negeri ini dihargai dengan layak? Sudahkah masyarakat bangsa ini menikmati bahasanya sendiri? Dan sudahkah bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu seperti yang tercantum dalam Sumpah Pemuda?

Bahasa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Bahasa sebagai alat berkomunikasi, berhubungan sosial, dan juga alat pemersatu suatu bangsa. Bahasa suatu bangsa merupakan cerminan dari sejarah, kebudayaan, dan juga karakter negara itu sendiri.

Jangankan berbahasa dengan baik, sejarah sendiri pun seringkali terlupakan. Bahkan tidak ada penghargaan layak untuk si pembuat sejarah. Sastrawan serta Cendikiawan dari tanah Sumatra yang telah meninggalkan banyak karya sastra pada negeri ini, saling membantu mengembangkan bahasa Indonesia hingga menjadi seperti sekarang ini. Bayangkan jika mereka tidak menyusun tata bahasa Indonesia, mungkin negeri ini masih terpecah belah karena perbedaan bahasa. Atau mungkin tidak ada Indonesia seperti sekarang ini. Hanya ada Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Celebes, Jong Bataks Bond, Jong Ambon, dan pengelompokkan lain berdasarkan bahasa setempat.

Mungkin jika bahasa negeri ini adalah sebuah berlian, tidak mustahil semua penduduk NKRI ini sudah berebut untuk menggunakannya. Dan jika bahasa Indonesia itu sebuah emas dua puluh empat karat, pasti tidak akan ada yang berani untuk mengganti apalagi menghilangkannya. Sayang bahasa pribumi saat ini hanya terlihat seperti buku tua nan usang. Hanya segelintir orang yang bersedia menyentuh dan membacanya.

Tetapi, bahkan jika bahasa kita hanya sebuah buku usang, tua nan berjamur bukankah sudah seharusnya kita merawatnya? Tidak bisakah kita menjaganya agar tetap ada? Tidak bisakah kita membukanya perlahan dan membacanya, lalu menggunakannya? Tidak bisakah kita bertindak sebelum buka tua itu tergeletak seperti sampah di selokan? Sesuatu yang sedikit mustahil rasanya. Kebanggaan akan berbahasa Indonesia telah lama pudar di negara ini. Kaum muda negeri ini lebih tertarik dengan bahasa orang lain. Sebagian dari mereka lebih hebat lagi, menciptakan kata-kata baru yang manis didengar tetapi tidak dapat ditemukan dalam kamus berbahasa. Jangankan berbicara dengan layak, sebagian dari kita bahkan tidak bisa menyebut nama negara ini dengan benar.

Ini Indonesia kawan, bukan Indonesa.

Cukuplah bagi kita telah lama lalai terhadap negara ini. Cukuplah bagi kita membiarkan negeri ini musnah secara perlahan. Cukuplah bagi kita membiarkan manusia-manusia jahat itu merusak kekayaan alam kita, primata kita, dan bahkan akhlak berbangsa kita. Sudah saatnya bagi kita untuk memperbaiki segalanya. Kita bisa memulainya dengan bangga berbahasa sendiri. Memperbaiki setiap tutur kata yang akan kita ucap. Dan mengajarkan adik-adik kecil kita berbahasa yang baik. Bukan bermaksud menggurui, tetapi hanya inilah yang bisa kita tinggalkan bagi para penerus hebat negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun