Mohon tunggu...
Dewi Sekarsari
Dewi Sekarsari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Singaperbangsa Karawang

I'm writing for my portfolio & my voice. I hope you enjoy! :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengatasi Ketimpangan Kesehatan di Dunia: Apa yang Dapat Belajar dari Model Pembag

28 Januari 2025   08:44 Diperbarui: 28 Januari 2025   08:44 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Transisi global menuju ekonomi hijau menjadi semakin mendesak seiring dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh ekonomi berbasis bahan bakar fosil terhadap perubahan iklim dan ekosistem. SDGs, yang menekankan pentingnya keberlanjutan, menggarisbawahi peran sektor ekonomi hijau dalam mewujudkan masa depan yang berkelanjutan. Namun, penerapan ekonomi hijau di sektor bisnis dan industri masih penuh tantangan, dengan hambatan dari ketergantungan yang kuat pada sumber daya alam yang tidak terbarukan. 

Seiring dengan kemajuan dalam teknologi dan kebijakan publik, banyak yang bertanya apakah ekonomi hijau benar-benar mampu menggantikan ekonomi konvensional yang telah mapan, atau apakah transisi ini hanya akan memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi?

Ekonomi hijau menawarkan model bisnis yang lebih berkelanjutan dengan menekankan pengurangan emisi karbon, efisiensi energi, dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana. Sebagai contoh, perusahaan seperti Patagonia dan Tesla telah memanfaatkan prinsip ekonomi hijau untuk mengurangi dampak lingkungan mereka dan menarik pelanggan yang sadar akan isu lingkungan. Namun, meskipun ada contoh sukses, banyak perusahaan besar lainnya enggan mengadopsi prinsip ini sepenuhnya, mengingat biaya awal yang lebih tinggi dan ketergantungan pada teknologi yang belum sepenuhnya matang. 

Tantangan ini mengarah pada pertanyaan kontroversial: apakah perusahaan besar benar-benar siap untuk berinvestasi dalam keberlanjutan atau hanya sekadar mengikuti tren untuk meraih citra positif?

Di negara berkembang, penerapan ekonomi hijau menghadapi tantangan yang lebih besar, mengingat kebutuhan mendesak untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Di Kenya, misalnya, sektor energi terbarukan, terutama energi angin dan matahari, telah berkembang pesat sebagai bagian dari upaya nasional untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, meskipun ada potensi besar dalam sektor ini, tantangan utama terletak pada keterbatasan infrastruktur, pembiayaan, dan akses teknologi. Studi oleh UN Environment Programme menunjukkan bahwa meskipun negara-negara berkembang memiliki potensi luar biasa untuk mengadopsi ekonomi hijau, ketidaksetaraan akses terhadap teknologi dan pendanaan seringkali menghambat kemajuan.

Teknologi hijau telah menjadi kunci dalam percepatan transisi menuju ekonomi berkelanjutan. Inovasi seperti baterai penyimpanan energi yang efisien, kendaraan listrik, dan teknologi pembangkit listrik tenaga surya yang terjangkau berpotensi mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Misalnya, di Jerman, penggunaan energi terbarukan telah mencapai lebih dari 40% dari total konsumsi energi nasional. 

Namun, pertanyaannya adalah apakah negara-negara berkembang dapat mengakses teknologi ini dengan biaya yang terjangkau, mengingat sebagian besar teknologi hijau masih tergolong mahal. Bagaimana cara memastikan bahwa transisi ini dapat menguntungkan semua pihak, bukan hanya negara-negara maju?

Salah satu argumen mendukung ekonomi hijau adalah bahwa sektor ini dapat menciptakan jutaan pekerjaan baru, terutama dalam industri energi terbarukan, teknologi hijau, dan pertanian berkelanjutan. Sebuah laporan oleh International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi hijau dapat menciptakan hingga 60 juta pekerjaan baru pada tahun 2030. 

Namun, penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa sektor-sektor ini mungkin tidak dapat sepenuhnya menggantikan pekerjaan yang hilang di sektor tradisional yang berbasis pada bahan bakar fosil, terutama bagi pekerja dengan keterampilan yang tidak dapat beradaptasi dengan cepat. Bagaimana memastikan bahwa pekerja di sektor yang lebih konvensional dapat beralih ke sektor hijau tanpa tertinggal?

Meskipun ekonomi hijau menawarkan solusi bagi masalah lingkungan, ada kekhawatiran bahwa fokus berlebihan pada keberlanjutan dapat memperburuk ketimpangan sosial. Di beberapa negara berkembang, transisi menuju energi terbarukan dan model bisnis hijau dapat menyebabkan peningkatan harga barang dan energi, mempengaruhi masyarakat miskin yang bergantung pada sumber daya alam yang tidak terbarukan untuk mata pencaharian mereka. Di Indonesia, misalnya, program penghijauan dan penggunaan energi terbarukan di beberapa daerah telah menyebabkan lonjakan harga barang kebutuhan dasar karena ketergantungan pada pasokan energi dari luar daerah. 

Apakah transisi ini akan menjadi alat untuk pembangunan yang inklusif atau malah menciptakan kesenjangan yang lebih besar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun