Aku memperhatikannya, mengaguminya dan ... ah, baiklah kali ini aku kalah. Aku benar-benar seperti menyukainya. Bukan mengenai parasnya, tapi karena intelektualnya. Bagiku tiada yang lebih baik selain pemikiran dari seorang individu. Tentunya, agama lah yang paling utama.
Segala tutur kata dan bait-bait yang ia lontarkan begitu mudah aku cerna. Pemikiran yang matang dan penuh perhitungan, tentunya itu sangat berlawanan terhadapku yang segala hanya perlu niat, tanpa perencanaan. Sebuah hal bodoh yang terus terulang, tapi di balik itu selalu membuka jalanku untuk menemukan banyak hal yang sebelumnya begitu sulit dipahami.
Kembali lagi, ya aku memang unik ---begitu temanku berkata. Seringkali aku tidak suka terhadap seseorang dipertemuan pertama. Bukan, bukan karena aku pemilih, tapi hati inilah yang menggerakkan segalanya. Menyingkap logika yang seharusnya kutegakkan di barisan paling depan. Ya, begitu susahnya aku. Di balik itu pula, aku bisa langsung akrab kepada beberapa manusia. Menyampingkan fakta bahwa ini adalah pertemuan pertama kami.
Di balik itu semua, aku menyadari. Kami, para perempuan memang seringkali mengedepankan perasaan, tanpa menyadari bahwa ada logika yang harus kami utamakan. Tentu, itu tidak terjadi pada semua perempuan. Mereka yang sudah terbiasa dengan kerasnya alur kehidupan, selalu berjalan pada logika yang terus menjadi landasan.
Ah, begitulah perempuan. Termasuk diriku dengan segudang tingkah lucu yang seringkali membuat jengkel orang-orang di sekitarku. Walau begitu, ia yang kusukai karena intelektualnya selalu membuatku sadar. Kali ini, apa landasanku? Rasa atau logika?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H