Letaknya yang menjadi gerbang utama perbatasan antara negara Indonesia dengan Malaysia membuatnya begitu rentan akan pengaruh dari luar. Sekian lama berdiri, hingga saat ini kondisi yang terlihat bahwa pengaruh itu semakin kental dirasakan.
Mata pencaharian warga, alat transaksi atau mata uang, bahkan kebutuhan pokok dari yang terkecil hingga besar hampir seluruhnya bergantung kepada negara tetangga. Dan itulah yang membuat jati diri warga setempat seolah sudah samar-samar akan negaranya sendiri.
[caption id="attachment_294808" align="aligncenter" width="565" caption="Perahu-perahu warga yang baru tiba dari membeli barang-barang kebutuhan pokok di Tawau Malaysia. sumber foto: tribunnews.com"]
[caption id="attachment_294809" align="aligncenter" width="554" caption="penggunaan dua mata uang Rupiah dan Ringgit di Sebatik. sumber foto: antaranews.com"]
Bukan tidak setia, tapi tuntutan hiduplah yang membuat mereka seperti itu. Ketika kata nasionalisme tidak dapat di ubah secara nyata untuk mensejahterahkan hidup dan hanya kian menjadi kata yang semakin buram maknanya. Jangan salahkan masyarakat perbatasan karena itu bukan ingin mereka. Pemerintah yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat setempat untuk dapat memberi jalan dan solusi merubah kehidupan mereka cenderung lamban dan seolah tutup mata akan realita yang terjadi.
Dan sekarang, walaupun begitu banyak peraturan keras yang dikeluarkan pihak negara jiran untuk membatasi akses masuk warga Indonesia ke Malaysia, hal tersebut sama sekali tidak menyurutkan niat mereka untuk terus berusaha menggantungkan hidup pada Malaysia. Miris memang, tapi itulah yang terjadi. ketika kebutuhan hidup menuntut mereka untuk terus “mengemis” pada negara lain karena negara sendiri seolah lupa “memberi makan” rakyatnya. Maka sebenarnya tak perlu lagi susah payah untuk mencari jawaban mengapa masyarakat Simpadan dan Ligitan dulu lebih memilih untuk menjadi Warga Malaysia di banding tetap menjadi warga Indonesia.
[caption id="attachment_294812" align="aligncenter" width="652" caption="hasil perkebenun kelapa sawit dan tangkapan ikan warga Sebatik yang akan dijual di Tawau Malaysia. sumber foto: sinergi-indonesia.org dan m.aktual.co"]
Selain hal tersebut, keadaan dilematis lainnya yang juga terjadi yaitu bagaimana hasil kerja keras atau hasil pekerjaan yang di dapatkan dari bertani, berkebun, dan menangkap ikan, justru mereka jual di negara jiran yang dianggap dapat memberikan pendapatan yang lumayan untuk menghidupi keluarganya. Walaupun pada kenyataannya, sebenarnya mereka juga menyadari hasil bumi yang mereka jualtersebut nantinya akan mereka beli kembali dari Malaysia yang telah melalui hasil produksi seperti cacao/coklat, kelapa sawit, dan ikan dengan harga yang relatif lebih mahal. Keadaan tersebut sebenarnya juga terjadi karena di wilayah Sebatik memang belum terdapat fasilitas memadai untuk melakukan produksi sendiri terhadap hasil pertanian, perkebunan, atau pun tangkapan ikan yang mereka hasilkan
Sehingga dari realita seperti ini, tidak dapat dipungkiri jika nantinya masyarakat perbatasan di Sebatik mungkin akan menyusul jejak Simpadan dan Ligitan untuk hijrah saja ke negara tetangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H