Mohon tunggu...
Coretan Embun
Coretan Embun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Random

Bragging Rights @ coretanembun2011.blogspot.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bara Kusuma Nasriti (Bab I)

26 Maret 2012   00:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:29 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332759924947858914

[caption id="attachment_170965" align="aligncenter" width="300" caption="photo koleksi pribadi"][/caption]

.

Bab I : Kusuma Nasriti

.

Dibelainya anak anak rambut yang jatuh berjuntai di keningku, lalu diraihnya kedua tanganku dan digenggamnya erat. Sinar matanya yang teduh berkaca kaca seperti mencari cari sesuatu di raut wajahku yang gundah gulana. Seorang ibu selalu bisa merasakan apa yang sedang dialami anaknya, terutama anak gadisnya.

"makan dulu nduk, sebelum kamu sakit",katanya. Aku tersenyum menyenangkan hatinya.
"inggih,..dalem ingin bisa seperti ibu sebagai perempuan yang sabar dan nerimo", kataku kemudian.

Ibu sedih karena sampai dengan detik ini ibunda Bara belum juga merestui kami. Di kampung ini para anak anak berumur 15 tahun dan 16 tahun sebagian besar sudah pada menikah. Sementara aku yang sudah berumur lebih dari 19 tahun belum juga menikah hanya karena tidak direstui. Kesedihan tampak terpancang jelas di wajah perempuan tua itu. Sesungguhnya beliau bukanlah ibu kandungku, suami beliau yang kemudian aku panggil bapak menemukanku menggigil di bawah pohon disaat hujan deras. Bapak pun mengajakku untuk tinggal di kediaman mereka dan sampai beliau meninggal masih menganggapku anaknya. Pasangan ini tdak dikaruniai anak. Mereka hanya berdua saja sebagai penjaga dan yang mengelola perkebunan ini. Dimatanya terpancar segala kesedihan dan keprihatinan.

"cah ayu anakku Rara, kamu jadi tindak kepasar hari ini?" kata ibu kemudian, aku pun menganggukan kepalaku sambil tersenyum kepadanya.

Akupun menyusuri perkebunan yang sangat luas ini. Perkebunan milik Senoadji, juragan tanah di kampung ini. Aku menyusuri kebun setapak demi setapak sampai berakhir disudut jalan lalu melanjutkan ke pasar dengan menumpang andong. Aku ke pasar untuk membeli beras, gereh dan tahu tempe. Untuk sayurnya ibu dan aku memetiknya sendiri di kebun belakang gubug kami. Aku ingin membuatkan ibu sayur daun singkong dan tumis bunga pepaya kesukaan beliau.

"masakanmu selalu istimewa cah ayu, walaupun dengan hidangan sederhana seperti ini", kata ibu memuji.

Akupun hanya bisa tersenyum. Semua ini tentu ibu yang mengajarkan. Tidak dapat disangkal ibu telah membekaliku beribu ribu kebaikan menjadi seorang perempuan yang pintar masak dan mengurus rumah. Kata ibu seorang perempuan harus bisa masak [mengolah makanan], macak [bersolek atau berhias] dan manak [melahirkan anak] sebagai filosofi seorang perempuan jawa. Jadi sebagai seorang perempuan tidak jauh jauh dari urusan berbenah rumah, dapur dan kasur. Sekembalinya dari pasar, aku langsung menuju dapur untuk mengolah daun singkong dan bunga pepaya yang sudah disiapkan ibu. Sesekali sudut mataku mengerling pada sosok ibu yang sedang duduk disebuah bale bale dekat pintu dapur sambil mengipasi dirinya dari udara yang siang ini cukup panas.Hidangan siang ini sudah tersaji dengan menu ikan gereh goreng, tahu tempe,  tumis bunga pepaya dan lalapan daun singkong. Segera saja aku menandukkan sepiring nasi beserta lauk pauknya pada ibu.

"ibu mengerti nduk, bahwa hidup ini tidak selamanya manis, tapi itulah kehidupan bercita rasa manis, pahit kadang juga asam", kata ibu sambil memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutnya. aku hanya bisa mengangguk saja.

Tak berapa lama kemudian datang seorang lelaki muda yang masuk lewat pintu belakang menuju dapur kediaman ibu. Dia adalah Bara, anak laki-laki bungsu satu satunya dari Senoadji pemilik perkebunan tempat kami menumpang hidup. Bara  hampir setiap hari mengunjungi kami bahkan sebelum aku tinggal disini bersama ibu dan bapak. Ibu bilang Bara sering sekali mengunjungi mereka hanya untuk sekedar bermain di sungai disamping kediaman mereka. Sungai itu begitu jernih hingga ikan ikan yang melenggak lenggok di dalamnya terlihat jelas. Kadang apabila beruntung aku dan Bara dapat menangkap ikan ikan tersebut untuk kemudian akan aku masak dan kami santap bersama sama dengan ibu dan bapak. Pada saat bapak menemukanku dan membawanya pulang ke rumah ini umurku pada saat itu belumlah 15 tahun. Ada sesuatu hal yang terjadi yang membuatku harus pergi dari kediaman orang tua kandungku. semenjak aku tinggal bersama merekalah kemudian aku mengenal Bara. kitapun menjadi teman sepermainan. Hari hari selalu kita habiskan bersama karena Bara tidak mempunyai teman sebaya di sekitar sini. Dan masih terlalu kecil bermain dengan kakak kakaknya yang sudah menginjak remaja.

"masuklah den Bara..apakah sudah dahar? monggo dahar bersama Rara ", kata ibu mempersilahkan Bara ke dalam.

Bara hanya menggangguk saja tanpa banyak bicara langsung masuk ke dalam dan duduk di hadapanku.

"Rara, aku ingin mengajakmu menyusuri sungai di perkebunan ini, untuk sekedar melihat keindahan gemericik air sungai nan jernih dan kalau beruntung bisa mendapatkan ikan untuk kita bakar nanti malam..bagaimana?", kata Bara dengan penuh semangat.

Akupun hanya menggangguk dan tersenyum, betapa Bara selalu mengisi hari hariku. Dan akupun tidak pernah bosan bersama terus dengannya. Kami pun berpamitan dengan ibu yang hanya tersenyum melihat kedekatanku dengan Bara. Aku dan Bara berjalan menyusuri tepian sungai sambil bercanda riang. Sesekali aku terpercik air yang kami injak ketika berlari lari kecil di tepian sungai. Setelah lelah berjalan kami lalu duduk di samping sebuah pohon besar. Lalu tiba tiba terdengar suara gemerisik daun terinjak seseorang disekitar kami duduk. Bara mendekatkan telunjuk ke bibirnya sebagai isyarat agar aku tidak bersuara. Tak lama samar samar terdengar suara dua orang sedang bercakap cakap. Kamipun bersembunyi di balik semak belukar sambil berusaha mencuri dengar.

"Saya yakin telah melihatnya denmas Paundra, sepertinya disekitar perkebunan ini", kata seorang laki laki yang berumur separuh baya pada pemuda di depannya.
"Kalo begitu kita harus mencari tahu pada pemilik perkebunan ini, tapi jangan sekarang.. kita awasi dulu daerah sekitar sini supaya Raden Roro Kusuma Nasriti tidak curiga", kata pemuda tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun