Tiba tiba hatiku berdegub kencang, aku sepertinya mengenal pemuda itu tapi tidak yakin dimana dan kapan aku mengenalnya. Aku dan Bara masih saja terdiam tanpa suara. Tak lama kedua orang tadi beranjak meninggalkan perkebunan. Kamipun bernafas lega. Bara lalu memandang kearahku.
"kira kira siapa yang mereka cari? aku sempat mendengar mereka menyebutkan sebuah nama Raden Roro Kusuma Nasriti...dan sepertinya mereka adalah orang orang dari kepatihan", kata Bara kemudian. Akupun hanya mengangkat bahu.
"lebih baik kita pulang saja Bara, hari sudah hampir gelap", kataku sedikit tersenyum dan tidak mengindahkan pertanyaan Bara.
Kami pun lalu berjalan pulang menuju gubug ibu dalam suasana senja yang menjingga. Sesampainya di gubug Bara pun langsung berpamitan, karena kami tidak sempat menangkap ikan yang rencananya akan kami bakar malam ini. Malamnya aku tidak dapat memejamkan mata. Aku sedang memikirkan dan bertanya tanya siapakah orang orang yang sedang mencariku tadi. Karena nama asliku adalah Raden Roro kusuma Nasriti , orang yang sedang mereka cari cari. Aku tidak tahu dan tidak mengenal mereka sama sekali. Maklumlah, karena aku meninggalkan rumah pada saat berumur 15 tahun.
***
4 tahun yang lalu
Aku adalah anak perempuan dari Angling Kusuma dan Ayu Matah Srindrani seorang pegawai kepatihan. Pada suatu hari datang seorang kurir utusan dari Adipati Cokroadhinoro seorang Wedana yang menyampaikan undangan pada kedua orang tuaku. Lalu merekapun pergi memenuhi undangan tersebut. Entah apa yang terjadi disana, sepulangnya mereka dari sana langsung mengajakku bicara.
"anandaku Nasriti, Tumenggung Adipati Cokroadhinoro ingin mengambil kamu untuk dijadikan garwo nya nduk", kata romo ku dengan raut wajah bersungguh sungguh.
Aku kala itu cuma bisa terdiam tanpa bisa banyak bicara, karena bila bicara pun tidak ada artinya. keputusan ini sudah jelas aku tak lama lagi akan menjadi Garwo seorang wedana dan itu berarti kehilangan kebebasan sebagai gadis remaja biasa yang masih ingin bermain main. Kecuali aku melarikan diri dari rumah. Aku harus pergi, lari atau apapun itu secepatnya. Dan itu yang kulakukan...Lari meinggalkan rumah kedua orang tuaku Awan gelap bergelantung dibatas cakrawala senja. Sepertinya sebentar lagi akan ada hujan besar, tapi itu tidak mengurungkan niatku untuk tetap pergi dari rumah. itu sudah menjadi tekad ku saat itu. Dengan mengendap endap tanpa membawa baju atau barang bawaan lainnya aku pun secepat kilat meninggalkan rumah. Perjalananku sore menjelang malam tidaklah semudah yang kukira, disamping aku juga jarang diperbolehkan pergi keluar rumah seorang diri. Ini merupakan pengalamanku yang paling menegangkan. Tidak seorang pun dijalan yang kukenal. semuanya asing. Tapi hal itu tidak menyurutkan niatku untuk terus berjalan walaupun aku tidak tahu akan kemana kakiku kulangkahkan. Butiran butiran air yang tercurah dari langit mulai sedikit sedikit membasahi wajahku. semakin lama hujan yang turun pun semakin deras. Dengan mengigil kedinginan akupun berteduh di bawah sebuah pohon. Malam semakin larus dan hujan belum juga reda. Sampai akhirnya seorang bapak tua menghampiri ku yang sedang berteduh.
"nak...kenapa kamu berdiri disitu seorang diri", katanya menegurku
"saya sedang menunggu hujan reda untuk kemudian melanjutkan perjalanan, pak ", jawabku
"memangnya kamu hendak kemana cah ayu, dimana rumahmu biar bapak antar kamu pulang", jawab bapak itu kemudian
"saya tidak hendak kemana mana pak, karena saya sudah tidak mempunyai siapa siapa..saya hanya ingin mencari pekerjaan di desa sebelah", kataku berbohong "ya sudah kalau begitu, kamu ikut saya saja ke kediaman bapak, nanti kita bicarakan lagi bagaimana baiknya", kata bapak itu
Akupun lalu berjalan mengikuti bapak yang membawaku ke gubuknya. Disitulah aku bertemu dan mengenal ibu yang sampai saat ini sudah aku anggap ibuku sendiri. .
***
also published :Novel Embun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H