Mohon tunggu...
Dewi Rachmayani
Dewi Rachmayani Mohon Tunggu... -

Dreamer. Traveller.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Agus Yamban, Sang Pemburu dari Desa Kwatisore

3 April 2012   13:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:05 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu, Kamis, 15 Maret 2012 pukul 6 pagi. Saya dan teman-teman baru saja melihat pasar musiman di Waubu. Saat tiba di penginapan kami di Kali Lemon, Teluk Cendrawasih, Nabire, Papua, saya dan Agus (buddy saya selama menyelam di Teluk Cendrawasih) sama-sama memilih langsung memotret sebelum istirahat di pondokan. Saya memilih memotret langit, sementara Agus.....rupanya tertarik dgn ombak. Lamaaaaa.....Agus memotret ombak dengan kamera hp-nya.

[caption id="attachment_179965" align="aligncenter" width="518" caption="Agus Yamban (foto dewi)"][/caption] [caption id="attachment_179956" align="aligncenter" width="459" caption="Pagi di Kali Lemon (foto dewi)"]

1333458356308386923
1333458356308386923
[/caption]

Usai memotret....saya yang sudah mengantuk, batal buru-buru istirahat. Penyebabnya? Karena tertarik melihat pemandangan yang tak pernah saya lihat sebelumnya, seorang pria papua yang sedang asyik melamun di ayunan kayu, sambil memandangi handphone dan langit fajar.

[caption id="attachment_179966" align="aligncenter" width="346" caption="Agus, Kali Lemon (foto dewi)"]

13334606241259679697
13334606241259679697
[/caption]

Debur ombak, bias fajar di kaki langit, ayunan kecil dari kayu.....sebenarnya...suasana pagi itu amat romantis. Lagu yang diperdengarkan hp Agus membuat suasana makin syahdu. Agus...rupanya tidak tahu judul lagu itu, “Enak saja lagunya,” kata Agus. Buat warga desa Kwatisore, hp adalah benda yang umum dimiliki warga. Kebanyakan, membeli hp untuk mendengarkan musik dan memotret. Amat jarang dipakai untuk menelpon, karena di sini memang tidak ada sinyal.

[caption id="attachment_179960" align="aligncenter" width="477" caption="Hp pemutar musik (foto dewi)"]

1333458705954014874
1333458705954014874
[/caption]

Rupanya, lagu yang cukup Islami ini, pas di telinga dan hati Agus, pria papua yang macho ini :)

Bukannya istirahat seperti teman-teman yang lain, yang ada kami berdua malah berjejalan di ayunan yang sempit. Ngobrol ngalo- ngidul.....banyak cerita unik tentang pria 34 tahun ini.

Agus Yamban, waktu SD punya cita-cita jadi pilot. “Tak bisa jadi pilot pesawat, sekarang saya jadi pilot di laut saja, sama ikan hiu, hahahahaha......”, cerita Agus lagi, sambil tertawa tergelak-gelak.

Agus, pemuda asli Kwatisore, Nabire, Papua ini, sejak kecil takut dengan hiu paus, “Menurut moyang kami, hiu paus itu hantu. Jadi kalau melihat hiu paus merapat, kami pasti pergi”.Sejak umur 10 tahun, Agus sering menemani ayahnya mencari ikan, kadang sampai bermalam di laut. Sejak itulah ia sering melihat hiu paus yang biasanya ditandai dengan kemunculan ikan puri di sekitar perahu. “Kalau tiba-tiba banyak ikan puri di dekat perahu, biasanya taklama muncullah hiu paus. Saya langsung pulang atau pindah tempat mencari ikan. Takut”

[caption id="attachment_179961" align="aligncenter" width="518" caption="Hiu paus dan nelayan (foto dewi)"]

1333458816302356476
1333458816302356476
[/caption]

Tahun 2005, saat Agus berumur 27 tahun...kebutuhan akan uang, membuatnya mampu mengusir rasa takut. Bersama 5 kerabat, Agus memilih untuk memburu “Sang Hantu”. Seekor hiu paus dibunuh dengan ditombak dari atas perahu. Tombak diikat tali sepanjang 70 meter.Ujung tali dipasang 3 pelampung dan 1 tong yang juga berfungsi sebagai pengapung. Empat pengapung inilah yang mereka tarik hingga ke tepi pantai.Hiu paus itu dibunuh demi siripnya. Tubuhnya? Dibiarkan begitu saja di tepi pantai. Menurut Agus, ia sempat membelah daging hiu paus. Warnanya putih dan ada bagian yang bening seperti kaca. Tidak dimakan, karena ia dan kerabatnya tidak pernah memakan daging hiu paus sebelumnya. Mereka tidak berani mencoba.

Nasib siripnya? Ternyata tidak diminati oleh orang yang memesan sirip hiu itu. Sirip hiu paus berbeda dengan hiu lainnya. Dinilai tidak cocok untuk disup karena terlalu banyak urat. Jika saat itu sirip hiu paus cocok dijadikan sup? “Yaaah...bakal habis sudah hiu paus yang ada di sini. Habis diburu,” jawab Agus, lempeng. Hadooohhh Aguuuuusssss......

[caption id="attachment_179962" align="aligncenter" width="518" caption="Hiu paus di perairan Kwatisore (foto dewi)"]

1333458875810828882
1333458875810828882
[/caption]

Menurut Agus, sekali itu saja ia berburu hiu paus. Hanya itukah hewan langka yang diburunya? Tidak ternyata. Agus yang anak bungsu ini, ternyata juga pernah, ralat, sering berburu penyu. Yap....penyu!

“Berburu penyu itu enaknya siang. Karena kalo siang dia biasanya tidur, malam baru dia cari makan. Kalo lagi tidur gitu, sudah....langsung angkut saja”, jelas Agus, lempeng. Hadooohhhh Aguuuusssss.......

“Berat kan ngangkat penyu ke atas, kok Abang kuat?” tanya saya, ikutan lempeng.

“Tidak berat, kan pas kita kasih angkat, penyunya bangun dan ikut berenang sendiri ke atas”, jawab Agus serius, tetep masih di atas ayunan. Daging penyu biasanya dibakar, digoreng atau dijadikan sup. Enak seperti daging ayam, menurut Agus. Selain untuk dimakan sendiri, penyu-penyu tangkapan juga biasa ia jual dalam keadaan hidup ke Nabire. Harganya, antara 40 ribu – 100 ribu rupiah per ekor, tergantung ukuran penyu.

Agus memburu penyu, selain karena kebutuhan, juga karena ia tidak tahu bahwa penyu itu langka dan dilindungi. Kabar baiknya, Agus tahu hal itu 2 tahun lalu. Dan sejak itu ia memilih untuk berhenti berburu penyu.

Tak hanya berhenti berburu hiu paus dan penyu, Agus juga sekarang berada dalam barisan tim konservasi, tepatnya kader konservasi Balai Taman Nasional Teluk Cendrawasih. Pandangannya terhadap hiu paus berubah sekitar tahun 2007. Saat itu ia dan temannya, Sake, bekerja di bagan. Ia melihat wisatawan Manado terjun ke laut dan berenang bersama hiu paus. Sejak itulah, rasa takutnya mulai hilang. “Ternyata hiu paus tidak seperti yang kami pikirkan.”

Selanjutnya, Agus jadi sering snorkling hingga menyelam bersama hiu paus. “Main sama hiu paus, rasa senang, terhibur, ikut bermain. Ikut sama dia, berenang sama-sama.”

Sekarang, hiu paus justru memberi manfaat bagi Agus.Hiu paus menjadi daya tarik utama di Teluk Cendrawasih untuk menarik turis lokal dan turis mancanegara. Dan pekerjaan Agus, menemani turis-turis itu bercengkrama dengan sang hantu.

Di hari terakhir kebersamaan kami, Agus memberi saya kejutan, sebuah hiu paus mini hasil pahatannya. "Ini Dewi, untuk anak kamu..."

Terima kasih banyak ya buddy. Untuk 7 hari kebersamaan kita, untuk menenangkan saya di hari pertama saya menyelam bersama raksasa-raksasa ini, dan untuk hiu paus mungil buatanmu.

[caption id="attachment_179963" align="aligncenter" width="429" caption="Agus dan hiu mini buatannya (foto dewi)"]

1333458948914630588
1333458948914630588
[/caption] [caption id="attachment_179964" align="aligncenter" width="454" caption="Hiu paus dari om Agus (foto dewi)"]
13334590241887176617
13334590241887176617
[/caption]

Sekarang, setiap bangun tidur, si kecil akan ambil hiu paus barunya, buat nemenin nonton Spongebob sebelum berangkat sekolah.

Insya Allah, jika ada rezeki, saya akan bawa si kecil ke kampung Kwatisore yang indah untuk berenang bersama hiu paus. Nanti, Bang Agus yang jadi buddy-nya anakku yaaa.....:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun