Judul yang tersemat di atas mungkin membuat beberapa kompasianer mengernyitkan dahinya untuk sejenak. Pemikiran itulah yang muncul di benak saya saat kembali terjun bebas untuk menulis lagi di Kompasiana. Sejak lima tahun lamanya saya absen dari komunitas blogger yang pernah membawa saya menjadi penulis amatir yang (pernah) aktif di Kompasiana.
Bukan tanpa alasan saya hengkang dari dunia blogging dalam waktu yang cukup lama. Dikarenakan beberapa alasan yang mana salah satunya adalah suasana hati yang menjadi unsur utama saya menulis pada lima tahun terakhir ini sirna seiring dengan rasa kehilangan karena kepergian kedua orang tua saya dalam waktu tiga tahun berturut-turut.
Lewat artikel ini saya tidak bermaksud untuk curhat colongan (curcol) tetapi niat saya adalah membuat artikel yang berisi refleksi pribadi dan titik balik untuk jurnal saya di Kompasiana.
Dengan menyempatkan membaca kembali artikel-artikel lawas di profil, entah kenapa menjadikan saya bersemangat kembali untuk menuangkan ide-ide dan gagasan kedalam sebuah tulisan di Kompasiana.
Pemilihan istilah pasar loak itu sendiri saya ibaratkan dengan tempat berkumpulnya orang-orang dengan gaya dan keunikannya masing-masing. Dimana hal itu juga mempengaruhi ketertarikan mereka terhadap tipe artikel dan gaya penulisan tiap orang.
Blogger lawas nan unik. Dua hal yang mungkin menjadi ciri khas saya didalam merangkai kata-kata menjadi tulisan yang masih jauh dari ekspektasi pembaca. Bahkan 'keunikan' yang terkadang tersirat pada pengalaman yang ingin saya bagikan juga masih dipandang sebagai ajang pamer lewat tulisan. Tetapi penilaian itu tetaplah sebuah penghargaan bagi saya yang terpenting adalah saya mau belajar menulis lagi itu saja sudah cukup.
Dimana kualitas penulisan saya pasti menurun drastis jika dibandingkan dengan artikel lima tahun lalu. Dan saya sadar betul bahwa eksistensi kita dalam menulis sangatlah dibutuhkan untuk mengasah kemampuan demi meningkatkan kualitas tulisan kita agar lebih baik lagi kedepannya.
Niat saya untuk menulis artikel ini sebenarnya sudah lama sejak pandemi Korona mewabah kebetulan saya juga sedang tidak bekerja karena itu saya mencoba log in ke akun saya di Kompasiana namun beberapa kali saya mengalami kendala karena lupa password. Tetapi fitur forgot password juga tidak berfungsi dengan baik. Hingga akhirnya saya meminta no. Kontak WhatsApp admin Kompasiana pada salah satu kompasianer lawas yang dulu juga pernah aktif dan pernah menjadi sosok kakak untuk saya pribadi.
Sebelum sempat mengontak sang admin, saya mencoba log in dengan google account dan ternyata berhasil. Padahal dulu pernah saya coba tetapi gagal. Saya rasa mungkin saja sistem Kompasiana pada saat itu yang sedang bermasalah jadi saya gagal masuk.
Pada saat masuk ke profil saya sempat melihat jumlah poin yang terkumpul dari total tulisan saya selama ini. Lalu saya coba klik karena dulu masih belum ada fitur itu jadilah saya penasaran melihat status saya di Kompasiana yang tertera sebagai penjelajah dengan poin 10 ribuan. Hal itu cukup menarik buat saya.
Tapi anehnya satu hari kemudian pada saat saya ingin menulis artikel tiba-tiba status saya berubah menjadi Taruna dengan poin 3000-an saja. Tentu saya terkejut dengan perubahan drastis tersebut tapi saya tidak tertarik untuk mempertanyakan hal itu karena lagi-lagi saya pikir mungkin saat itu sedang ada kesalahan teknis pada sistemnya.