Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Pagi di Pusara Abadimu

6 Mei 2014   01:28 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jari jemariku mengusap batu nisan abu-abu bertuliskan namamu, tanggal kelahiran dan kepergianmu. Sedikit kotor terkena tanah basah. Mungkin karena semalam hujan deras. Tak kuhiraukan sengatan mulut matahari yang mulai meninggi. Tak kupedulikan kulitku mulai menjerit karena gigitan sinarnya.

Dahan-dahan kamboja lembut menari terkena angin. Nyanyian burung di sekitarku terdengar lirih. Persis suasana hatiku saat ini. Hati yang merindukanmu. Andai sosokmu nyata di hadapanku, ingin rasanya aku memelukmu. Tumpahkan semua rasa dalam dada. Seperti saat dulu kau ada bersamaku. Rebahkan segala keluh dan peluhku pada bidang tubuh kekarmu.

Tak terasa lima tahun sudah kau tertidur di sini. Tenang sekali. Barangkali ini yang dinamakan peristirahatan abadi. Kau tahu aku tak pernah takut pada kuburan atau pemakaman. Bahkan bila harus berlama-lama seorang diri pun, dengan senang hati aku mau menemuimu. Terkadang, kerinduan yang begitu hebat mampu melenyapkan ketakutan sebesar apa pun. Lagipula, ini juga akan jadi tempat tinggal abadiku satu saat nanti.

Aku bukan seorang penakut. Sama sepertimu. Bahkan pada kematian. Bagiku kematian hanyalah salah satu cara untuk bisa melihat indahnya wajah Tuhan. Dalam kehidupan, aku hanya bisa meyakini-Nya saja. Yang aku takutkan justru ketika kematian datang, aku tak membawa cukup banyak amal untuk pertanggungjawabanku di hadapan Tuhan. Aku pun berharap, kematian juga bisa jadi jalan yang akan mempertemukan kita kembali. Di dunia yang lain.

Aku rindu padamu. Selalu rindu. Sungguh ini rasa terdalamku yang enggan pergi sejak kau meninggalkanku di dunia ini. Andai kau masih ada, aku pasti tidak akan selemah ini. Kau yang selalu ingatkan aku untuk jadi wanita yang kuat, yang tidak cengeng, yang tegar. Seperti ibuku. Kau mencontohkan ibuku sendiri. Yah...ibu, ibu dan ibu. Tak perlu jauh-jauh mencari sosok inspiratif. Kau bilang, ibu adalah contoh paling sempurna sebagai wanita kuat.

Hmm, tentang sosok wanita, rasanya aku mau bertanya padamu sekarang. Tak apa kan bila aku sedikit penasaran? Aku hanya ingin tahu saja seperti apa wajah bidadari-bidadari di sana? Apakah ada yang lebih cantik dari aku atau ibuku? Aku yakin sepertinya ada walau tidak ada yang sama seperti aku atau ibuku. Kami bukan bidadari sungguhan, tapi setidaknya pernah menjadi bidadari di hatimu ketika kau masih ada di dunia.

Ibu? Kabar ibu baik-baik saja. Masih cantik seperti dulu. Masih baik seperti dulu. Masih lembut seperti dulu. Tapi hingga detik ini, aku belum bisa menemukan sorot mata yang sama seperti saat kau ada di dunia ini. Aku melihat kerinduan yang tiada berputus di kedua matanya. Kewajaran rindu pada belahan jiwanya. Ibu masih setia dan percaya akan bertemu lagi dengan belahan jiwanya di surga nanti.

Aku tidak tahu surga seperti apa yang Tuhan berikan untukmu saat ini. Tapi aku yakin Tuhan telah berikan tempat yang setimpal dengan kebaikan-kebaikanmu selama hidupmu. Kau terlalu sempurna untuk jadi seorang pria. Rasanya akan lebih terlihat pas aku sebut kau malaikat tak bersayap. Aku belum menemukan pria sepertimu dalam kehidupanku. Rasanya tak ada.

Kedatanganku kali ini hanya ingin luapkan rasa. Entah mengapa sejak kau pergi, hidupku kacau. Aku larut dalam lubang kegalauan tanpa dasar. Aku kehilangan sosok yang begitu aku cinta dan aku belum menemukan yang serupa sebagai penggantimu. Kau begitu berharga untukku. Siapa saja bisa jatuh cinta kepadamu. Aku percaya itu.

Aku rindu ketika kita bernyanyi hilangkan kepenatan. The Beetles dan Bee Gees adalah penyanyi kesukaanmu. Kita berdua terlalu percaya diri mengatakan bahwa suara kita tidak fals, setidaknya untuk telinga kita sendiri. Bahkan kau selalu runut saat menceritakan sejarah para penyanyi favoritmu. Kaset-kaset lawas yang bertumpuk jadi saksi bisu kesukaanmu pada musik.

Aku rindu ketika kita bicara soal politik. Sengit dan berapi-api. Kau adalah fans fanatik sebuah partai politik yang masih eksis hingga sekarang. Kau pun adalah pengagum Bapak Proklamator kita. Rasanya hebat ketika kau dan aku berdebat tentang dunia perpolitikan. Seperti pakar politik saja. Ngalor ngidul bicara soal urusan bangsa republik ini. Kau dan aku sama-sama pernah mengalami jadi aktivis kampus dalam masa yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun