Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bencana di Hari Valentine dan Cap Go Meh

14 Februari 2014   16:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, ada tiga hal yang terjadi bersamaan. Dua hal adalah perayaan tahunan, satunya lagi peristiwa tak terduga. Semuanya kontras namun mengandung makna yang luar biasa. Sejak kemarin, hati saya gelisah entah mengapa lalu bergetar hebat ketika malam datang. Akhirnya saya menyaksikan liputan berita tentang meletusnya Gunung Kelud pada pukul sepuluh malam.


Saya tidak bisa pejamkan mata hingga subuh menjelang. Pandangan saya tidak berhenti pada televisi yang menyiarkan berita langsung tentang pergolakan lahar di Gunung Kelud. Lemas hati saya, tapi saya masih punya kekuatan untuk berdoa. Yah, cuma itu yang bisa saya lakukan.


Belum reda rasanya tangisan rakyat ini atas berbagai musibah yang datang melanda secara bertubi-tubi. Belum surut rasanya keprihatinan atas nasib mereka yang terpilih Tuhan untuk menghadapi bencana yang tak pernah mereka harapkan. Belum cukup kah rakyat ini menderita karena bencana alam, sosial, ekonomi, politik dan moral? Tuhan sepertinya masih menyimpan jawabannya rapat-rapat.


Tadinya saya sempat membayangkan, hari ini di Kompasiana akan didominasi oleh tulisan tentang cinta dan kasih sayang bertepatan dengan hari Valentine meski pun pada akhirnya tulisan tentang bencanalah yang bertebaran dan jadi topik utama. Saya tidak merayakan Valentine, namun tidak juga fanatik untuk melarang orang lain merayakannya. Hak setiap orang untuk berpendapat dan mempertanggungjawabkan pendapatnya.


Bagi saya kasih sayang sifatnya tak boleh berhenti atau berbatas pada satu waktu saja. Tetapi kalau untuk sekedar 'menyentil' bahwa cinta itu ternyata masih ada di muka bumi dan selalu banyak diperbincangkan terutama pada setiap tanggal 14 Februari, tidak ada masalah dengan saya. Bahkan bila semua kelak bisa berujung bahwa cinta wajib di'raya'kan setiap hari, mungkin saya adalah orang pertama yang akan merayakannya.


Lalu bagaimana dengan Cap Go Meh? Cap Go Meh atau hari ke lima belas (setelah Imlek) kebetulan diperingati hari ini juga. Biasanya selalu dirayakan dengan meriah. Di Kota Bogor sendiri, jalan yang digunakan untuk perayaannya sudah di'booking'. Ramai sekali karena beberapa group Barongsai akan mewarnai 'Pesta Rakyat' setiap tahunnya. Makna dari perayaan ini sendiri adalah waktu turunnya Dewa ke bumi dan disambut dengan suka cita oleh yang meyakininya.


Barongsai itu beratraksi seperti tengah 'menyapu' jalan raya (rute telah ditentukan). Konon melambangkan 'bersih-bersih' atau menghapus segala bala dan bencana di tahun yang baru. Berharap segala takdir keburukan hilang dan terganti oleh takdir kebaikan. Boleh berkeluh kesah sebanyak-banyaknya dan berdoa ketika iring-iringan pawai lewat. Cap Go Meh juga diyakini memberi energi positif dan dapat memberikan keselamatan serta kemakmuran. Saya pribadi sungguh terkesan dengan perayaan ini karena lebih ramai dari Sincia (Imlek).


Bencana gunung Kelud meletus yang bertepatan dengan hari kasih sayang dan Cap Go Meh akhirnya membuat saya mengambil benang merah di antara ketiganya. Saya sengaja menghubung-hubungkan suatu kebetulan ini. Tentunya ini hanya versi saya saja.


Apa yang terjadi pada hari ini menyadarkan saya sepenuhnya bahwa bumi sudah begitu renta dan butuh kasih sayang yang lebih besar lagi dari kita semua sebagai penghuninya. Cinta yang tulus kepada Tuhan, sesama manusia dan alam niscaya akan meredakan segala amarah yang ada. Sifat cinta yang begitu indah dan lembut sungguh dirindukan oleh siapa saja di dunia ini.


Negeri ini pun sepertinya butuh 'disapu bersih' dari segala bencana pada moral mau pun nurani yang semakin saja 'menggila' terjadi di segala bentuk kehidupan. Ketika mata tertutup atas segala pertanda, ketika telinga tuli atas segala peringatan, ketika lidah bisu tak peduli atas kemungkaran, ketika hati buta atas segala teguran, ketika itulah bencana yang sesungguhnya sudah terjadi tanpa kita sadari.


***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun