Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Belantara Maya

25 Maret 2014   01:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1395662156349109745

[caption id="attachment_300390" align="aligncenter" width="400" caption="pic from www.deviantart.com"][/caption]

Ada yang berlari
mengejar matahari yang tergelincir
bernafas dalam tanah, udara dan air
mematah-matah diri agar berhati-hati
lautan petuah pun lelehkan kata untuk diresapi
.
Ada yang bebaskan tawa
di batas lorong-lorong senja
samar-samar redupkan cahaya
saat hitam malam gantikan garis-garis surya
lepaskan penat atas letihnya dunia
.
Ada yang meringis
mengurai air di antara jalan darah
terisak dibalik seribu wajah
perlahan memapah diri
tumpahkan segala haru
meski separuh diri
masih saja dibayang-bayangi serpihan lara
.
Ada yang menahan resah
amarah jalang tampak menebal pada bertumpuk gundah
sukmanya mengutuk rasa pada pori-pori waktu
coba luruhkan benteng-benteng jumawa
sandarkan jemu pada kerlip yang hilang warnanya
.
O Senja bermata
ternyata ada juga yang terselimuti buta
meraba dalam sayup-sayup gulita
lidahnya terbelenggu
inginnya melontar kata-kata
namun apa daya tak punya kuasa
.
Kini semua tadahkan tanya
Tuhan, masih adakah cinta di dunia?
Seperti apa rupanya?
Bagaimana warnanya?
Apa rasanya?
bila ada, mengapa tak pernah bisa melihatnya secara nyata?
apakah cinta itu maya adanya?
andai tak ada lagi, ke mana mesti mencari?
.
Tidakkah Engkau ingin segala yang bernyawa, hidup dalam kedamaian?
ataukah Engkau sengaja demi keseimbangan?
padahal pertikaian itu bagai menabur dendam
hanya sisakan luka yang merajam
.
Jiwa-jiwa itu terdiam
menyimpan tanya, entah sampai kapan
satu-satu langkah kaki beranjak pergi
tinggalkan kelopak-kelopak beban
berharap segala yang terlanjur remuk akan meredam
bagai lapis demi lapis debu tersiram lebat hujan
.
.
Kampung Hujan, 240314
.
.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun