Aku merunut kata demi kata
adalah langit yang menurunkannya
di sela-sela hati yang nestapa
.
Sampulnya berhias permata surga
kertasnya dari ranting-ranting di taman firdaus
tintanya dari sungai-sungai nirwana
bercahaya ketika ku membacanya
bening permukaannya melebihi embun di pagi buta
.
Sesekali aku menerka
seperti ada wangi arak-arakan awan
yang mengikuti dari kejauhan
.
Barangkali ia mengerti
bagaimana meredam penat yang berdesak-desakan
barangkali ia memahami
ada tanya yang menumpuk-numpuk di lumbung hati
.
Musim penghujan akan segera berlalu
embun-embun mulai berdebu
kemarau mulai tampakkan wajahnya
kerahkan tangan - kaki yang terbakar matahari
aku jemu dalam jelujur hari
.
O Yang Maha Berilmu
aku tak punya kekuatan lagi, terlalu lelah ku termangu
melemah ku semakin melemah
serpihan akal pun hati kubiarkan menyerah
.
Jiwaku tadahkan pinta
ku ingin dunia dalam genggaman tangan
demi pecahnya ribuan getir perkara kehidupan
namun sungguh Engkau berikan lain jawaban
bahwa ada pahala akhirat sebagai istimewa jamuan
untukku...Engkau katakan untukku...
.
Sungguh ini bukti yang teramat nyata
betapa terbatasnya aku sebagai manusia
yang katanya mahluk mulia
tapi tak mampu menangkap segala pertanda
hanya leleh air di mata dan usap lembut di balik rahasia kebenaran firman
menguatkan ku agar tetap bertahan
.
.
Tuhan...ajari aku...memahami segala isyarat cinta-Mu...
.
.
.
Kampung Hujan, 210214
.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H