Bagiku...kau tabah, bijak, arif, seperti 'Hujan Bulan Juni'
saat wajah matahari seringaikan beribu tajam geligi
genitnya mencubit sekujur pori-pori, ujung kepala hingga kaki
ciutkan kedua pupil karena terik yang menjadi-jadi
.
Bukan. Ini bukan tentang sajak Sapardi
bukan pula celoteh sastra kontemporer tingkat tinggi
ini hanya tentang kau, temali kasihku di hati
tentang rindu yang tak pernah berhenti kutuliskan untukmu lewat puisi
.
Degup hari yang kini begitu teduh karenamu, jadi semakin teduh
begitu setianya kau hapus segala lukaku yang berpeluh
seperti rindang pohon yang berkerumun, saling bercerita
seperti tarian air di atas kering sahara, lepaskan dahaga
.
Kau. Kau hujan pada kemarau musimku
sejak penghujung bulan Juni lalu
Kau. Kau matahari pada hujan lebatku
hangatnya penuhi dinding hati yang sempat membeku
.
Biar. Biarkan saja Tuan Sapardi tahu
barangkali akan mengampuni
tlah ku curi sebaris puisi untuk melukiskanmu
karena kau...kau adalah sebenar-benar pantulan 'Hujan Bulan Juni'
.
.
Kampung Hujan, 090514
.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H