Begitu mendengar kata "Gunung Kidul" yang terlintas dalam pikiran adalah sebuah daerah yang tandus, kering dan minim potensi. Ternyata salah besar, Gunung Kidul punya unique poin yang bisa dikembangkan, contohnya saja Desa Sejahtera Astra (DSA) Katongan, Kecamatan Nglipar, Gunung Kidul. Siapa sangka desa yang terletak di Gunung Kidul ini memiliki cukup banyak potensi yang bisa dikembangkan dan menjadi desa wisata. Desa Katongan merupakan salah satu desa penghasil Aloevera atau lidah buaya. Secara geografis dan kontur tanah, aloe vera bisa dibudidayakan dengan baik di desa tersebut. Bukan hanya sebagai desa budidaya dan produk turunan aloe vera saja, Desa Katongan juga dikenal sebagai produsen madu Klenceng dan kerajinan topeng serta anyaman bambu.
Potensi DSA Katongan, dari Aloevera hingga Karawitan
Budidaya aloevera di Desa Katongan dimulai pada tahun 2014, seorang pemuda desa bernama Alan Effendi yang saat itu masih tinggal di Jakarta, memiliki gagasan untuk membudidayakan aloe vera di kampung halamannya, Desa Katongan. Alan mengandalkan sang ibu, Sumarni dalam budidaya aloevera yang diharapkan dapat dijadikan usaha masa depan untuk keluarganya. Alan tidak asal saja memilih budidaya aloevera, dia memiliki pertimbangan aloevera cocok ditanam di desa Katongan karena termasuk tanaman yang mudah dibudidayakan dan cocok dengan kondisi desa Katongan yang berada di daerah rawan kekeringan pada musim kemarau. Aloevera atau lidah buaya termasuk tanaman gurun yang tahan meski jarang mendapat air. Lidah buaya atau aloevera dapat bertahan satu tahun meski tidak memperoleh siraman air.
Aloevera bisa sekali tanam dan bertahan lama, nggak perlu repot menanam kembali jika sudah panen. Umur tanaman ini pun tergolong yang cepat panen. Aloevera merupakan salah satu bahan penting dalam industri kosmetik dan ini menjadikan permintaan terhadap tanaman ini cukup tinggi. Hal ini yang menjadi salah satu alasan bagi Alan bersikukuh mengembangkan budidaya aloevera di kampung halamannya dengan bantuan ibunya. Pertamakali, Alan membeli 500 bibit aloevera untuk ditanam dan dirawat ibunya, sayangnya karena area tanam yang jauh dari rumahnya, hampir sebagian dari bibit aloevera tersebut rusak. Untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, bibit aloevera dipindahkan area tanamnya ke lahan produktif yang ada di sekitar rumah Bu Sumarni. Sekitar 250 bibit aloevera ditanam dan dirawat Bu Marni. Perlu waktu setahun untuk panen. Bu Marni  dan putranya, Alan merupakan pelopor budidaya aloevera di Desa Katongan, Nglipar, Gunung Kidul.
Tahun 2016, Alan kembali ke kampung halaman dan mulai fokus untuk membuat olahan lidah buaya. Hal ini dilakukan Alan agar aloevera atau lidah buaya yang ditanam bisa lebih memiliki nilai ekonomis. Alan pun mulai memproduksi nata de aloevera dengan nama produk Rasane Vera.Â
Produksi minuman segar dari aloevera terus berkembang sejalan dengan budidaya aloevera yang juga sudah tampak hasilnya. Melihat budidaya aloevera Bu Marni dan Alan yang memiliki peluang ekonomi yang tinggi, para tetangga mulai tertarik. Alan mulai berkolaborasi dengan pihak lain dan melibatkan orang sekitarnya untuk ikut mengembangkan budidaya aloevera.Â
Tetangga serta kerabat Alan dan Bu Marni yang ada di Katongan mulai ikut menanam lidah buaya dibawah naungan komunitas tani yang diberinama KWT Mount Vera Sejati dengan Bu Sumarni sebagai ketuanya. Ketika tanaman lidah buaya yang dibudidayakan KWT Mount Vera Sejati sudah siap panen, lidah buaya tersebut dijadikan pasokan untuk usaha nata de aloevera yang dijalankan Alan. Selain mengolah aloevera menjadi minuman segar, Alan dibantu Bu Marni juga membuat aneka olahan lain dari aloevera.
Sejalan dengan waktu, Mount Vera Sejati saat ini telah menjadi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang budidaya dan pengolahan aloevera/lidah buaya. Alan dan Bu Sumarni juga mengembangkan eduwisata aloevera. Wisata edukasi seputar budidaya dan pengolahan lidah budaya. Pengunjung yang datang, tidak hanya memperoleh pengetahuan seputar budidaya aloevera saja tapi juga pengolahannya.