Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Saya Sudah Sakit Jiwa!

15 April 2014   14:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hah! Capek! Lelah! Terlalu menyiksa semua kerjaan ini! Saya sudah sakit jiwa!

Bergitulah kurang lebih ungkapan para pekerja setiap hari yang tanpa sadar keluar dari mulutnya atau bahkan hati di bawah alam sadarnya. Lebih lagi ungkapan ini sering kita jumpai di tengah-tengah minggu, hari Rabu misalnya.

Mengapa jarang terdengar di hari Senin? Tentu tidak, ungkapan berbeda ada di hari ini, dan biasanya berupa “ah, hari yang malas...” atau “this is so lazy daayyy…”.

Bagaimana dengan hari Jumat? Tentu ungkapan sumpah serapah nan bahagia banyak tercurah di hari yang menjadi penghujung minggu ini. Diantaranya “Thanks God today is Friday!” atau “Weekend is comiiinngg.…” dan satu lagi “Semoga Senin tak cepat dijelang :( “.

Dalam beberapa iklan lowongan pekerjaan secara gamblang tertulis salah satu persyaratan yang dibutuhkan ialah siap bekerja dibawah tekanan. Nah, apakah tekanan seperti ini yang dimaksud? Bekerja dengan beban melebihi kemampuanya? Bekerja dengan tugas yang tidak sesuai bidang keahliannya? Atau pembagian tugas yang tidak merata sehingga menyebabkan ketimpangan sosial antar pegawai?

Hal tersebut mungkin saja terjadi, tapi bagaimana dengan kita sebagai penerima tugas alias pegawai? Apa yang bisa dilakukan? Ya, tidak ada selain berlapang dada. Mengerjakan semua tugas yang telah diberikan dengan sebaik mungkin.

Bagaimana jika tersulut protes kecil kepada sang atasan? Bersiaplah karena mungkin saja hal ini akan menjadi pegangan seumur hidupnya. Karena sekecil apapun perbuatan yang tidak menyenangkan dilakukan bawahan, akan diingat selamanya oleh atasan? Benar begitu? Mungkin saja iya.

Di sisi yang lain, bagaimana jika setumpuk tugas yang mirip dengan tsunami di siang bolong adalah memang tugas resmi bagi kita? Sama halnya dengan paparan diatas, kerjakan dengan senang hati untuk mencapai hasil yang maksimal. Demikian bukan?

Umpatan-umpatan lucu nan tak elok sebenarnya, sudah sering kita dengar. Nampaknya ini menjadi makanan sehari-hari bagi semua orang yang berstatus pegawai. Apapun jenis pekerjannya. Tak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain sedikit, mudah dan long deadline. Oke, adakah semacam itu? Semoga saja.

Cukup. Tangan saya hanya dua. Kaki saya hanya dua. Kepala saya hanya satu. Ya, itu semua benar kenyataanya. Namun ocehan singkat tersebut dimaksudkan bagi mennggunungnya order tugas dari atasan yang satu dan yang lainnya, yang menuntut berbagai keinginannya itu selesai dalam waktu yang sama.

Kita sebagai pelakunya mungkin hanya bisa mengumpat dan bergumam “saya bingung, yang mana dulu yang harus saya kerjakan…” keputusan yang diambil akhirnya? Bergegas ke pantry dan membuat segelas kopi! Hah, apakah kopi dapat menyelesaikan gunungan itu? Saya tidak tahu, karena saya bukan pecinta kopi.

Romantika gunungan tugas dan umpatan-umpatan manis merupakan dinamika dalam dunia kerja. Kedengarannya ini klise, tapi sesungguhnya bisa menjadi amat manis apabila hal ini diterima dengan senang hati yang nyaris tanpa senyum kecut dibibir. Ya, jadikan ini nuansa yang menggembirakan bagi keseharian kita bekerja.

Banyak hal positif yang bisa diambil dari kejadian ini. Kita merasa bekerja dibawah tekanan? Ingat, saat melamar dulu apakah benar-benar tidak ada syarat ini? Kalau ternyata ada, maka tidak ada yang bisa disalahkan toh? Karena semestinya kita sudah siap untuk semuanya. Atau bisa jadi, itu hanya masalah perasaan saja.

Tugas hadir bertubi-tubi yang tidak sesuai dengan kemampuan kita? Lihat kebelakang, apa yang menyebabkan bisa terjadi seperti ini. Air yang mengalir? Udara yang bergerak? Oke, berarti ini masalah kondisi yang menentukan. Maka ikutilah arah angin, karena tersirat hal yang tak tersurat bahwa kita dipandang mampu untuk mengerjakannya. Dan percayalah sesungguhnya kita benar-benar mampu. Semangat!

“Mengapa tugas saya demikian banyak? Saya bingung mana yang harus saya kerjakan lebih dulu?” Ya, lagi-lagi ini masalah rejeki. Kita dianggap sebagai pegawai yang canggih. Mampu bekerja dengan baik dan benar. Mampu bekerja dengan cepat, dan mampu menyelesaikan tugas sesuai yang diharapkan. Bahkan lebih.

Inilah mengapa tangan kita yang hanya dua, pasti mampu menyelesaikan semuanya. Percayalah, kita bisa! Tunaikan lebih dulu yang deadlinenya sudah di depan mata! Itu kuncinya.

Apakah hal ini diciptakan untuk membuat kita menjadi yang terbaik diantara pegawai lainnya? Lupakan itu. Lakukan semuanya dengan baik dan hati gembira. Niscaya hal-hal baik lainnya akan mengikuti.

Ikhlas dan bangga hati, itu kuncinya. Dengan demikian umpatan miris nan menyedihkan hingga menyasar akan sakit jiwa akan terkikis perlahan.

Ganti semua ungkapan derita dengan yang bahagia, yakni “Luar biasa! Saya dipercaya! Dan ini adalah kesempatan saya menunjukkan kepada dunia bahwa saya tidak akan sakit jiwa!”

(dnu, 14 Maret 2014, 22.19 WIB)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun