Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ini Masalah Etika Pegawai Minimarket Kenamaan

7 Oktober 2016   12:22 Diperbarui: 7 Oktober 2016   12:26 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Seorang kasir mengucapkan nominal belanja yang harus saya bayar adalah senilai  Rp 155.300,- (seratus lima puluh lima ribu tiga ratus rupiah). Hanya bermaksud memperhatikan deretan angka hasil berbelanja, saya melihat dengan seksama layar monitor komputer kasir tersebut, dan di sana tertera total biaya adalah senilai Rp 155.250,- (seratus lima puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah). Hm… angka yang berbeda antara yang diucapk...an dengan yang tertera di layar.

 Saya diam, hanya bergerak menyerahkan kertu ATM sebagai alat pembayaran, lalu sang kasir memprosesnya dengan memotong uang dalam ATM saya senilai Rp 155.250,-. Ya, angka yang benar, yang memang seharusnya saya bayarkan. Tapi mengapa saat menyampaikan total pembayaran secara lisan ia melebihkan Rp 50,- (lima puluh rupiah)? Pembulatankah? Jika ya, saya ingin bertanya lagi, pembulatan macam apa ini?

 Gaess… hati-hati… hal seperti ini sungguh bukan tindakan terpuji, melainkan sangat dekat dengan dosa. Ini pembohongan lho! Mengapa ia bisa menyebutkan angka yang berbeda dengan yang ia sendiri lihat? Salah lihat atau bagaimana? Boleh saya katakan saya untung karena membayar dengan debit ATM sehingga yang dipotong nominalnya tepat dengan yang seharusnya. Lantas bagaimana jika membayar dengan uang tunai? Apa yang akan ia lakukan?

 Hal seperti ini kadang terkesan kecil sekali untuk dipermasalahkan, tapi balasannya bisa menjadi amat sangat besar jika dibiarkan. Adalah hal yang tidak dapat dibenarkan jika melakukan pembulatan ke atas atas suatu biaya jual beli tanpa ada persetujuan dari konsumen. Bagi sebagian konsumen bisa jadi angka Rp 50,- bukan nominal yang besar sehingga cukup tidak berarti jika kehilangannya, tapi yang perlu digaris bawahi adalah masalah etika pegawai. 

 Kuat saya tekankan sekali lagi disini masalah etika, hal paling mendasar yang harus diperhatikan oleh setiap orang. Adakah informasi kepada konsumen atas suatu pembulatan nominal total belanja di suatu toko atau pusat perbelanjaan? Pembulatan ke atas maupun ke bawah harus tetap diinformasikan kepada konsumen, tanpa terkecuali. Lima puluh rupiahnya akan disumbangkan? Ya sampaikanlah hal tersebut, bukan lantas sesuka hati menyebutkan total yang sudah dibulatkan.

 Hal sepele nan remeh ini sesungguhnya adahal hal besar yang menyangkut dunia perdagangan. Akifitas jual beli hendaknya dilakukan menganut tuntunan yang baik, yang syariah misalnya, yang salah satunya adalah tidak mengambil hak orang lain tanpa pernah terlebih dahulu meminta persetujuannya.

 Bukan masalah akumulasi berapa kali dari lima puluh rupiah yang akan pedagang tersebut dapatkan secara cuma-cuma, tapi sekali lagi ini masalah etika berdagang yang sungguh sangat tidak bisa dibenarkan.

 Satu hal lainnya, ngga berkah kalo gitu caranya ^^

 (dnu, ditulis sambil bbman sama calon pembeli cake haha…, 6 Oktober 2016, 20.13 WIB)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun