Polemik Asisten Rumah Tangga (ART) dewasa ini telah menjadi problematika berulang bagi sebagian kehidupan rumah tangga. Terlebih bagi istri/ibu yang memiliki aktifitas lain, misalnya karyawati, wiraswasta, pengajar atau kegiatan lainnya.
Bagi profesi-profesi diatas yang diemban oleh seorang wanita, keberadaan ART memang sangat dibutuhkan. Namun perlu ditekankan disini, bukan berarti seluruh urusan rumahnya dipegang oleh ART tersebut. Masih banyak kaum Ibu yang ditengah kesibukannya di luar rumah, tetap mengutamakan kebutuhan keluarganya, yakni anak dan suami tercinta. Sebisa mungkin seluruh keperluan anak dan suami dipegang sendiri oleh sang istri.
Fenomena ART memiliki musim tersendiri. Seperti sekarang ini, di akhir bulan Ramadhan adalah musim bagi ART untuk pulang ke kampung halamannya. Dan pasca hari raya Idul Fitri adalah musim bagi ART untuk tidak kembali kepada keluarga tempatnya mencari nafkah (majikan).
Musim lainnya pasca lebaran ialah musim para istri mencari ART baru untuk membantunya di rumah. Menembus segala cara, dimulai dengan bertanya dari mulut ke mulut, menelepon yayasan penyalur pembantu, menghubungi calo perpembantuan dari desa, hingga titip pesan pada ART yang lama untuk mencarikan teman yang mau bekerja padanya.
Mencari ART bukan perkara yang mudah. Disini akan terlihat suatu kecanggihan yang selama ini terpendam dalam diri suami maupun istri. Dua-duanya sigap mencari ART ideal untuk bekerja di rumahnya. Bahkan hingga penjemputan calon ART dari desa untuk diboyong ke rumah majikan pun dilakoninya tanpa ragu.
Entah karena ini efek modernisasi zaman atau ada hal lainnya, sehingga hampir di setiap rumah tangga dibutuhkan seorang ART. Namun sekali lagi, ia hanyalah seorang asisten, yang artinya membantu, bukan mengambil alih semua pekerjaan di rumah. Peran ibu tetaplah yang utama.
Dewasa ini seperti sudah terbaca bahwa umur ART untuk bekerja di suatu keluarga tidaklah lama. Mungkin paling lama satu atau dua tahun. Setelah pulang ke kampung halamannya sedikit sekali yang kembali ke rumah majikannya. Bahkan ada cerita yang dalam setahun suatu keluarga bisa berganti ART sebanyak 5 sampai 7 kali.
Entah apa yang melatarbelakangi hingga kisah-kisah seperti ini bisa terjadi. Tidak seperti ART jaman dahulu yang bisa bekerja pada suatu keluarga hingga puluhan tahun. Bahkan nama si ART pun telah masuk dalam jajaran Kartu Keluarga (KK) sang majikan.
Apakah ini berarti loyalitas seorang ART jaman dahulu dengan jaman sekarang berbeda? Mungkin saja. Tapi yang pasti perkembangan zaman pun turut memiliki andil yang kuat dalam kasus ini.
Saat ini telah banyak pabrik-pabrik bermunculan di berbagai kota, bahkan desa. Hal ini menjadi salah satu alasan bagi seseorang untuk lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik di desanya, ketimbang menjadi ART di kota orang lain. Sangat manusiawi jika status sosial menjadi alasan yang utama.
Adalah sifat dasar manusia untuk mendapatkan pengakuan yang lebih baik dari orang lain. Selain itu pandangan sebagai karyawan pabrik terlihat lebih mempesona bila dibandingkan dengan status "kerja ikut orang" di kota besar.