Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tunjukkan Diri Baik Melalui Ujaran Kebencian, Sama Saja!

10 Maret 2020   10:00 Diperbarui: 10 Maret 2020   10:15 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tunjukkan Diri Baik melalui Ujaran Kebencian, Sama Saja!

Setiap orang ingin dilihat, dinilai dan dikenal sebagai peribadi yang baik, namun untuk mendapatkan penilaian ini banyak orang keliru dalam meraihnya. Keliru yang dimaksud di sini adalah ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa kita adalah orang yang baik namun dilakukan dengan cara menjelek-jelekan orang lain.

Kekeliruan nyata yang kerap melintas di lini masa adalah menampilkan pendapat diri sebagai yang terbenar namun sembari menjatuhkan pihak lain. Berulang dalam ucap bahwa pihak lain tidak benar, tidak baik dan sangat buruk, yang benar hanyalah seperti apa yang kita paparkan. Ungkapan menanjaklah tanpa perlu menginjak yang lain dan bersinarlah tanpa perlu meredupkan yang lain sangat benar adanya, seseorang tidak perlu menyudutkan pihak lain hanya karena ingin menunjukkan bahwa kitalah yang paling benar. 

Hal terbaik yang dapat dilakukan yakni membuktikan dengan hasil karya nyata bahwa kita sungguh lebih baik dari mereka, tanpa perlu singgung mereka lagi. Bukankah balas dendam terbaik adalah dengan meraih prestasi setinggi-tingginya?

Di era yang serba terbuka seperti saat ini memang sangat memudahkan bagi siapa saja yang ingin mencurahkan pemikiran, baik secara lisan di video ataupun tulisan. Seakan tidak ada yang melarang, walaupun payung hukum UU ITE telah terkembang, masih saja ada yang yang lupa untuk tidak menyebar ujaran kebencian. 

Terlebih lagi jika dilakukan karena ingin meningkatkan citra positif diri, adalah bukan hal yang patut ditiru. Kalimat seperti ini "jadilah seperti saya yang tidak pernah bolos sekolah, jangan seperti dia berlagak sakit di kelas lalu kabur tak berbekas", jelas ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa diri kitalah yang paling baik karena tidak pernah bolos sekolah, dan dia adalah contoh yang tidak baik karena kerap membolos. 

Lantas apa bedanya kita dengan dia? Cukup tunjukkan kepada orang lain jika kita selalu rajin bersekolah dan tidak pernah berpura-pura sakit hanya untuk mendapatkan izin tidak masuk. Dengan melakukan hal seperti ini orang lain dapat menilai dengan sendirinya mana yang benar-benar baik dan mana yang sebaliknya.

Secara tidak sadar era teknologi ini membawa masyarakat menjadi pribadi yang lebih ekspresif, selalu ingin menyampaikan pendapat atau mengungkapkan pemikiran melalui wadah yang mudah didapat yaitu media sosial. Pada masa sebelumnya dikarenakan teknologi belum berkembang sepesat ini, masyarakat masih kesulitan untuk membagikan pendapatnya ke khalayak umum, sehingga yang dapat dilakukannya hanyalah bercerita secara langsung kepada orang lain atau mengirimkannya ke surat kabar untuk dapat dimuat dan menjadi santapan banyak mata. 

Faktor psikologis yang mendorong seseorang untuk selalu ingin tampil dan menjadi perhatian publik memang bersambut baik dengan kemajuan teknologi 4.0. Kini setiap orang yang ingin menyampaikan pendapat dapat dengan mudah menuangkan di media sosial yang dalam hitungan detik saja semua akan sukses terpublikasi. Dengan adanya kemudahan seperti ini justru membuat kita terkadang lalai dalam menjaga diri, keliru dalam mengunggah pemikiran yang seharusnya di jalan yang benar tapi justru kebablasan hingga mengarah pada ujaran kebencian.

Berujar lirih di media sosial seraya memaparkan kesalahan-kesalahan orang lain, bagaimana pendapat Anda? Bukankah kita harus menjaga aib orang lain jika ingin Tuhan tetap menutupi aib kita? Kalau sudah muncul kalimat begini "Sudah sepatutnya kita membenci mereka karena telah melakukan kesalahan, tapi jangan benci saya karena sayalah yang benar". Apa bedanya kita dengan dia?

(dnu, ditulis sambil merasakan perut kembung, 10 Maret 2020, 09.42 WIB)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun