Awal tahun didamba menjadi pembuka hari yang baik dan indah bagi 364 hari berikutnya yang akan dijelang. Tahun 2020 ini diawali dengan datangnya rezeki air sangat berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa ke banyak titik di Indonesia. Tidak sedikit yang menyikapi kejadian ini sebagai musibah, namun tidak sedikit pula yang menyikapi peristiwa ini sebagai pengingat diri atas kesalahan apa yang sudah dilakukan di waktu-waktu sebelumnya.Â
Adalah sifat manusia yang gemar mencari siapa yang salah tanpa lebih dulu berfikir mungkinkah kita juga memiliki andil kesalahan. Di media sosial ramai bersahutan antara pihak yang menyalahkan pemerintah dengan pihak yang membela pemerintah, sedikit sekali yang tergabung dalam pihak menyalahkan diri sendiri.Â
Terasa amat manusiawi jika saat musibah banjir seperti ini terjadi lantas puluhan jari di tangan dan kaki sibuk menunjuk siapa yang pantas dicaci maki. Sungguh memang tidak ada satupun manusia di bumi ini yang menginginkan suatu musibah terjadi, termasuk banjir seperti di awal tahun ini.
Sibuk mencari siapa yang salah, bahkan lebih sibuk dari pada memikirkan rumah dan perabot yang mengapung di air. Sibuk membela siapa yang dianggap benar, lebih sibuk dari pada memikirkan keluarga akan makan apa hari ini. Jika ingin mencari siapa yang salah, sungguh setiap dari kita memiliki andil kesalahan yang sama hingga terjadilah bencana banjir di mana-mana.Â
Mulai dari hal yang paling kecil saja, apakah selalu dan selalu setiap waktu kita senantiasa tidak membuang sampah plastik sembarangan? Di mana banyak dari kita yang sudah sama-sama paham bahwa sampah plastik membutuhkan waktu ratusan tahun untuk dapat terurai? Atau bahkan tidak mungkin terurai. Apakah kita sudah selalu peduli tidak membuang sampah bungkus plastik permen yang kita anggap kecil?Â
Jika 100 orang saja memiliki anggapan yang sama bahwa boleh membuang sampah bungkus permen sembarangan dikarenakan ukurannya yang sangat kecil sehingga dianggap tidak akan mengganggu keberlangsungan kehidupan alam, sungguh apa jadinya bumi ini.Â
100 di kecamatan A, 100 di kecamatan B dan seterusnya, apa kira-kira yang akan terjadi? Baru dari bungkus permen, bagaimana dengan sampah plastik lainnya? Jika hal yang paling sederhana ini masih saja kita anggap sepele, lantas siapa lagi yang harus menjaga tanah ini?
Masih ingin menyalahkan pihak lain? Bagaimana dengan developer pusat perbelanjaan, apartemen atau bangunan-bangunan besar lainnya? Atau pihak lain yang membangun gedung bertingkat di tanah resapan air? Menghilangkan resapan air demi mendatangkan resapan uang. Bukan hal yang aneh jika hujan lebat turun tak terkira maka semua tertampung di atas tanah karena tidak mampu lagi bumi meresapnya, karena apa? Entah di mana lagi ada lubang biopori.Â
Walaupun kita semua harus yakin, pembangunan berbagai macam gedung yang berlapis-lapis lantainya itu telah melalui izin mendirikan bangunan yang semestinya, tanpa menyalahi prosedur terkait keberlangsungan kehidupan alam sekitarnya. Pertanyaannya? Apakah semuanya telah sesuai regulasi? Semoga saja iya.
Kita yang lebih senang bermain di taman dalam dunia maya dan tidak memilih bercocok tanam di kebun yang sebenarnya, apakah bukan berarti turut membiarkan matinya alam ini? Saat ini semua memang serba digital namun bukan berarti menanam benihpun dapat dilakukan di layar kaca telepon pintar. Gaya hidup membeli makanan yang lebih senang dibungkus dan diantar, sampah styrofoam semakin banyak, bumi sulit mengurai, tetapi manusia tetap saja masa bodo. Pembiaran-pembiaran seperti ini yang turut menyumbang sakitnya alam ini.
Menyalahkan Gubernur yang dulu atau yang sekarang, atau sebaliknya? Manusia terkadang lupa untuk menyalurkan energinya ke tempat yang tepat. Selain perlunya tetap sibuk bersyukur atas turunnya hujan, berdoa agar hujan segera reda, berdoa agar air yang tergenang segera surut atau berdoa agar setiap peristiwa yang terjadi membawa keberkahan, justru netizen lebih sibuk mencaci sana ini. Belajarlah menjadi lebih bijak, setiap pemimpin pasti telah dan akan melakukan yang terbaik.Â