Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hati Perempuan Harus Lebih Besar dari Egonya

9 Oktober 2016   18:36 Diperbarui: 9 Oktober 2016   19:01 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu ketika ada yang mengirim pesan kepada saya berupa tulisan melalui aplikasi pesan ponsel pintar, kurang lebih isinya seperti ini :

“Mengapa perempuan ketika sudah menjadi istri justru diduakan oleh suaminya, yaitu mendua untuk ibu dan istrinya tersebut. Mengapa Ibunya harus dinomor satukan, mengapa harus selalu taat pada Ibunya, sedangkan saya yang berstatus sebagai istrinya mengapa justru menjadi orang yang ke dua setelah Ibunya. 

Sang Ibu juga kerap mengirim pesan kepada suami saya untuk memintanya makan di rumah sang Ibu, dengan tanpa memikirkan perasaan saya yang sudah menyiapkan makan untuknya, suami pun sering sarapan atau makan malam di rumah Ibunya. Tapi jika satu hari saja saya tidak menyediakan makan untuknya dia selalu marah, protes, walau kadang saya berfikir ketika saya memasakpun suami tidak memakannya, tetapi malah makan di rumah Ibunya…”

Perhiasan dunia yang paling indah adalah istri yang sholeha, dan menjadi yang demikian tentu tidak mudah. Namanya juga mau masuk syurga ya jelas saja kalau jalannya berliku, banyak batu, kadang salju, kadang angin berlalu, kadang ini, kadang itu. Termasuk juga kronika unik nan antik dalam jenjang kehidupan yang lebih tinggi yaitu pernikahan.

Seorang muslimah tentu memahami bahwa suami kita adalah milik Ibunya, dan yang bertanggung jawab terhadap ibunya adalah anak laki-lakinya. Lalu bagaimana dengan istrinya? Perasaan yang normal, dan secara harfiah tentu ada rasa cemburu. Mengapa nomor satu harus Ibu? Lantas bagaimana dengan saya yang merupakan istrimu? Setiap muslimah tentu ingin menjadi bidadari syurga bukan? Inilah salah satu caranya.

Pahami benar bahwa dalam islam tidak pernah ada yang salah, bahwa suami kita memang harus menomorsatukan Ibunya, selanjutnya baru kita beserta anak-anak. Sederhana saja, dibawa ikhlas, dibawa yakin jika seorang istri begitu taat pada suami maka syurga yang akan menjadi balasannya. Jika sudah yakin benar pada yang satu ini maka jalan ke langkah berikutnya akan terasa ringan. Tidak ada lagi cemburu atau apapun yang kadang merusak hati dan pikiran tentang suami dan Ibunya. Allah SWT adalah sebaik-baik pengatur scenario kehidupan bukan? Maka tak perlu lagi ada yang diragukan, melainkan jalani saja perintahnya dan jauhi larangannya.

Jika terasa tidak mudah maka satu hal yang mungkin bisa dilakukan yakni menghipnotis diri dengan terus menerus mengatakan bahwa “hati saya harus lebih besar dari pada ego saya”. Kalau mau menuruti rasa tidak suka, cemburu, bahkan tidak habis piker mengapa istri yang mengandung, melahirkan dan merawat anak-anak dari suami justru menjadi yang ke dua setelah Ibunya. Balik lagi, Allah SWT adalah sebaik-baik penagtur scenario kehidupan umatnya.

Selanjutnya bagi para suami bagaiamana sebaiknya bersikap atas hal ini? Bersikap adil dan tidak main belakang menjadi kunci utama kelangsungan hidup berrumah tangga. Menjadi pribadi yang saling terbuka hendaknya mutlak ada pada setiap pasangan suami istri. Kadang tak habis pikir tentang pernyataan seseorang yang beranggapan tidak semua hal harus dibuka atau disampaikan kepada istri. Jika demikian maka apa proyeksi dari pernikahan tersebut? Hidup saja sendiri-sendiri dan bangun sekat setinggi-tingginya untuk hal-hal yang tidak ingin diketahui. Bagaimana dengan ungkapan bahwa menikah adalah menyatukan yang dua jika tetap menjadi dua?

Seorang Ibu pasti memiliki keinginan-keinginan tertentu yang masih terus digantungkan kepada anak lelakinya sekalipun anak tersebut telah menikah. Cara penyampaian keinginannya pun beraneka ragam, bisa secara terbuka di depan sang istri, atau bisa juga lebih privasi melalui telepon atau pesan-pesan lainnya yang tidak mudah diketahui banyak orang. Disinilah peran penting seorang suami tentang bagaimana seharusnya ia bersikap. 

Mengapa harus ada hal yang ditutupi dari istri jika suami menuntut istri selalu terbuka dalam berbagai hal dan cerita yang terjadi sepanjang hari? Apakah menganut paham atau kepercayaan lebih baik diam dari pada menyakiti? Jika benar demikian,bagaimana dengan kenyataan bahwa dibohongi justru hati istri sangat tersakiti? Mungkin disini bisa dibuat kesepakatan tentang apa-apa saja yang wajib diceritakan dan apa saja yang boleh disembunyikan. Bebas saja, walaupun lagi-lagi saya ingin bertanya apa tujuannya menikah jika harus begini kenyatannya?

Mungkin bagi sebagian orang paparan diatas terkesan sebuah kondisi yang sangat ideal, dimana belum tentu setiap pasangan bisa melakukannya, tapi bukan tidak mungkin untuk bisa diterapkan bukan? Lagi-lagi semuanya dikembalikan kepada masing-masing pemadu kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun