Usai meonton berita tentang seorang Polisi yang tak segan menjadi tukang pulung sampah usai jam kerja setiap harinya, saya berfikir dalam hidup ini apa sih yang paling mahal. Adalah “kemauan” menjadi hal yang paling mahal karena tidak mudahnya dipenuhi oleh setiap orang.
Lihat saja Bripka Seladi, seorang Polisi yang bekerja sebagai bintara di Satuan Polisi Lalulintas Polres Malang Kota dengan pangkat Bripka atau Brigadir Kepala, serta bertugas juga di bagian pengurusan penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) roda empat di Polres yang sama, ia tak malu untuk menjadi pemulung sampah.
Di televisi ia bercerita tak sedikit orang yang berusaha memberikannya sejumlah uang demi bisa segera terbit SIM-nya tanpa harus melalui tes yang semestinya. Setiap kali ada yang mencoba memberikan “uang suap”, setiap kali itu pula Bripka Seladi menolaknya. Lalu bagaimana Bripka Seladi berusaha mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan keluarganya? Kini, siapa sih yang tidak tahu bahwa Bripka Seladi memulung sampah setiap usai bekerja?.
Inilah yang namanya kemauan atau niat. Kemauan untuk tetap berada pada jalur pekerjaan yang benar dan halal. Adalah bukan hal yang mudah di zaman seperti sekarang ini kita bisa menjunjung tinggi kekuatan untuk menolak hal-hal yang tidak semestinya, dan tentu kita sama-sama tahu bahwa godaan setan ada dimana-mana. Kemauan berikutnya adalah kemauan untuk mencari pekerjaan halal lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, walau harus dengan menjadi pemulung sampah. Lalu yang ke tiga adalah kemauan untuk tetap menjadi diri sendiri.
Bripka Seladi telah mengajarkan kita semua tentang mahalnya sebuah “kemauan”. Kadang kala manusia kerap berfikir tentang kesulitas-kesulitan yang mungkin dihadapi dalam melakukan sesuatu. Sehingga bayang-bayang kekhawatiran tersebut berhasil membuat kita mundur perlahan dan tak melakukan apa-apa, hingga otomatis rasa “mau” untuk berubah demi sesuatu yang lebih baik lagi-lagi pupus begitu saja. Karena apa? Kekhawatiran yang kadang tak beralasan.
Jika sering terdengar ungkapan “hidup saya begini-begini aja…. ngga berubah dari dulu….”, mengapa demikian? Karena kita tidak mau berubah! Tidak mau mengubah diri. Tidak mau melakukan perubahan. Bahkan bisa dikatakan tidak mau membuat semuanya berubah. Toh setiap manusia menginginkan kehidupan yang lebih baik setiap harinya bukan? Lantas apa yang perlu dilakukan? Yang pertama “mau”. Mau berubah. Mau menerima perubahan. Mau melakukan upaya yang lebih keras dan lebih menantang! Ini namanya apa? Yup, inilah ikhtiar.
Ikhtiar adalah yang Tuhan YME inginkan. Berproseslah agar semuanya berubah. Jangan hanya pandai bergumam meratapi kemajuan pekerjaan orang lain, hidup orang lain, pendidikan orang lain, hingga peningkatan harta orang lain tanpa pernah mau melakukan perubahan di dalam diri sendiri.
Setelah ada kata “mau” di dalam kepala, niscaya seluruh hati, jiwa dan raga akan mendukung. Alam semestapun akan mendukung apa yang menjadi niat baik setiap manusia. Rasa malu pun akan hilang. Lihat saja Bripka Seladi, bagaimana ia dengan bahagia menjadi pemulung sampah dengan tetap menyandang statusnya sebagai Polisi. Apakah ini memalukan? Tentu saja tidak, karena apa yang ia lakukan adalah pekerjaan yang halal. Sebaliknya, menerima suap adalah yang sesungguhnya amat memalukan.
So, masih menginginkan hidup yang lebih baik dari hari ke hari? Berubahlah! Katakan pada dunia “saya mau berubah dan saya mau berproses agar menjadi lebih baik!”. Sekali lagi, setelah ada kata “mau” maka bersiaplah, alam semesta akan mendukung.
(dnu, ditulis sambil nahan punggung yang pegel kayak orang hamil hahah…., 29 Mei 2016, 20.17 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H