Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sibuk Mengutuk, Hingga Lupa Meminta

19 Mei 2016   09:32 Diperbarui: 19 Mei 2016   09:35 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak sedikit para pemerhati berita “perkosaan anak hingga tewas” yang tengah ramai mengudara ramai-ramai sibuk mengutuk pelaku. “Kebiri saja! Hukum mati! Nyawa dibayar nyawa!....” dan sumpah serapah lainnya yang tentu tak bisa habis untuk membayar luka dan duka yang dialami keluarga korban. Mengapa mereka begitu emosi hingga ucapannya kadang melampaui batas kemampuan hukum Indonesia untuk menjatuhkan ganjaran? Tentu hal ini sebagai sebagai bentuk rasa peduli yang begitu tinggi kepada korban maupun keluarganya.

Ditengah hiruk pikuk kasus perkosaan anak dibawah umur yang terus terkuak, para simpatisan yang sibuk mengutuk nampaknya mereka lupa untuk meminta. Kearifan meminta kepada pemerintah agar tidak lupa memberikan pendampingan kepada keluarga korban dan terapi trauma yang sudah pasti dirasakan, mungkin terlewat akibat emosi yang begitu meluap.

Perkosaan adalah bentuk kekejaman manusia terhadap manusia lainnya yang seakan tak bisa diganjar dengan jenis hukuman apapun. Karena akibat dari perbuatan ini adalah rusaknya masa depan korban, dan terlebih lagi bagi yang korbannya meninggal dunia ini berarti rusaklah masa depan seluruh anggota keluarganya.

Dengan demikian, energi kita sebagai pemerhati berita yang selama ini terucurahkan dalam bentuk kecaman, hendaknya bisa disalurkan juga dengan permohonan kepada pemerintah agar tidak melupakan keluarga korban begitu saja. Bukan berarti usai menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan Undang-undang maka berakhir sudah ceritanya, tapi agar pemerintah juga terus memberikan pendampingan kepada keluarga korban akibat rasa trauma yang pasti diderita mereka. Pendampingan dilakukan dalam masa waktu yang tidak bisa ditentukan, tergantung seberapa dalam rasa trauma yang dialami, serta kekuatan untuk bangkit dari keluarga tersebut.

Sibuk mengutuk keadaan dan mengutuk pelaku memang kadang terjadi diluar kesadaran. Terus saja kita mengumpat berbagai macam perkataan sebagai bentuk rasa simpati yang mendalam. Namun alangkah baiknya jika kita juga ingat bahwa masih ada keluarga korban yang juga butuh perhatian dan pendampingan. Jika kita tidak bisa secara langsung memberikan pendampingan maka jangan hanya terus menerus mengingatkan pemerintah agar memberikan hukuman yang setimpal, tapi ingatkan juga agar senantiasa memberikan pendampingan tenaga medis bagi keluarga korban pemerkosaan.

Karena bagaimanapun setiap orang butuh untuk dibantu agar bisa kembali bangkit usai mengalami keterpurukan yang mendalam.

(dnu, ditulis sambil menikmati macet di Jakarta tercinta, 19 Mei 2016, 06.43 WIB)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun