Pagi itu (28/8) saya dan rombongan relawan tiba di SDN Serai, Kintamani, Bali untuk menjalankan misi berbagi inspirasi kepada 178 tunas bangsa di sekolah ini. Tergabung dalam organisasi Kelas Inspirasi sebagai relawan pendidikan asal Jakarta jelas telah memberikan kesan mendalam tersendiri.
Saya tiba pukul 07.30 WITA. Persis di depan bangunan sekolah, saat saya membuka pintu mobil untuk turun dan bergegas masuk ke area sekolahan, terdengar suara seorang wanita yang amat merdu nan syahdu. Suara yang mengalun lembut itu sedang mengucapkan untaian kalimat doa dalam agama Hindu.
Saya pertegas telinga saya sebentar dan otomatis reflek mencari sumber suara yang saat itu menggunakan alat pengeras. “Oh dari sekolahan ini… lagi pada berdoa ternyata….” batin saya.
Begitu masuk pagar sekolah, dengan langkah yang amat hati-hati saya ikut berdiri di belakang jajaran para murid dan guru. Saya perhatikan ke sekeliling, semuanya tengah khusyu berdoa sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Kepala tertunduk khidmat, dengan katupan tangan di dada.
Wow! Suasana ini amat tenang dan syahdu! Sejak awal datang ke sekolah ini saya sudah mendapati hal yang demikian luar biasa. Semua anak tertib berdoa mengikuti arahan sang guru. Tidak ada satupun yang bercanda. Menoleh sedikitpun tidak. Hebat! Luar biasa!
Kesan pertama yang saya dapati dari anak-anak ini ialah tertib. Ya, mereka amat tertib mengikuti prosesi doa tersebut, dimana nampaknya hal ini sudah terbiasa dilakukan setiap hari. Sehingga sudah menjadi kewajiban lalu menjadi disiplin dengan sendirinya.
Udara Kintamani yang sangat dingin benar-benar memberikan warna berbeda bagi saya. Ditengah pancaran sinar matahari yang terik, namun sapuan angin dingin begitu menusuk hingga ke lapisan kulit yang paling dalam. Lagi-lagi pelajaran yang bisa saya ambil di sini ialah semangat menuntut ilmu yang luar biasa.
Pergi ke sekolah dengan berbalut jaket atau baju hangat, tetap saja tidak menurunkan tingginya optimisme tunas bangsa yang ada di Kecamatan Kintamani ini untuk mencapai cita-citanya.
Saat masuk ke ruang Kepala Sekolah beserta relawan lainnya yang semuanya adalah penduduk Bali, saya semakin merasakan kehangatan yang amat menyenangkan. Tiba di mulut pintu, beberapa perwakilan sekolah dan relawan yang sudah lebih dulu datang, menyambut saya dengan senyuman seraya mengucapkan “Selamat datang Bu Dewi, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, silahkan masuk….”
Wuaaaaahhh….. ini sapaan paling romantis yang pernah saya dengar :)
Saya berada ditengah nuansa Bali yang amat kuat, serta jajaran pengurus sekolah yang juga mereka adalah seorang Hindu, tapi menyambut saya dengan penuh suka cita. Ya, saya merasakan ini adalah sambutan yang penuh cinta.
Sebelum mulai mengajar di kelas, kami para relawan melakukan diskusi sesaat di ruang kepala sekolah. Ucapan-ucapan salam umat Hindu pun berkali-kali saya dengar disana, karena setiap relawan diminta untuk memperkenalkan diri serta memberikan sedikit kata sambutannya.
Dan saat tiba pada giliran saya, dengan penuh rasa persaudaraan saya ucapkan selamat pagi, lalu secara singkat saya utarakan kehangatan yang saya rasakan. Hanya saya yang berjilbab kala itu, berada ditengah kentalnya suasana Kintamani, namun saya merasa amat diterima oleh mereka :)
Sesi mengajar (memberi inspirasi) di kelas pun dimulai. Kelas pertama yang saya masuki ialah kelas IV. Murid-muridnya sangat tertib. Mereka menyambut saya dengan bahasa Bali :)
Ditengah-tengah saya bercerita tentang “Indahnya Bercita-cita”, dan waktu itu saya berada diantara kerumunan anak-anak lucu, tiba-tiba seorang murid perempuan bertanya kepada saya “Kakak… Kakak agama Islam ya?” dengan senyumnya yang malu-malu.
Saya jawab “Iya, kok kamu tau?” saya balas dengan senyuman termanis yang saya punya.
Anak cantik itu lantas menjawab “Iya tau, karena Kakak pakai jilbab. Kalo aku Hindu Kak … :)”
Wah anak yang cerdas ya hehe… Saat itu saya sambut pernyataannya dengan “Oh iya, kamu pinter ya, cantik lagi…”
Dantanpa sadar dorongan rasa bahagia penuh suka cita telah membawa raga saya untuk segera memeluk anak-anak itu :)
Selama setengah hari saya luapkan semua kegembiraan karena telah bisa berada ditengah calon pemimpin bangsa bahkan dunia, dari belahan Kintamani. Bernyanyi bersama, hingga terus saling menggenggam tangan yang tiada akan pernah ada puasnya.
Usai mengajar di 6 kelas, akhirnya tiba waktunya untuk berpisah.
Sedih. Amat. Sangat.
Bergantian memeluk anak-anak satu persatu, sambil saya ucapkan “Belajar yang baik ya….. kapan-kapan kita ketemu lagi yaaa…”.
Berjabat tangan erat dengan seluruh jajaran guru, lambaian tangan, senyuman perpisahan, hingga menggenapkan seluruh kekuatan lahir dan batin untuk melakukan pertahanan agar air mata tak ikut hadir saat itu.
Ucapan terima kasih dari pihak sekolah menjadi penutup kesempatan yang mengesankan ini. Lagi-lagi khusus ditujukan kepada saya, ucapan salam dalam agama Islam kembali mereka sampaikan. Kuat saya rasakan ini adalah ungkapan betapa mereka sangat menghargai saya, dan terlebih lagi ini adalah wujud rasa bahagia atas bertemunya kita semua sebagai sesama makhluk Tuhan yang beraneka warna .
Saya bahagia berada ditengah mereka, karena saya amat merasa diterima tanpa ada sedikitpun pembeda.
Akhirnya saya bergegas memasuki mobil. Lalu menuju kantor Bupati Bangli untuk bertemu dan melakukan evaluasi, sebelum seluruh relawan berpencar dan saya kembali mengejar burung besi di Denpasar, Bali.
Sepanjang jalan melewati kebun Jeruk saya amat bahagia karena telah bisa berbagi ilmu dengan segenap hati. Namun rasa haru terus menyelimuti, karena saya tidak akan pernah tahu kapan saya dan anak-anak itu bisa bertemu lagi.
Terima kasih yang tak terhingga dari saya untuk semuanya :)
(dnu, ditulis sambil makan waffle di pinggir jalan, 12 September 2014, 19.00 WIB)
[caption id="attachment_323776" align="alignnone" width="331" caption="Si Kembar Mila & Mili"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H