Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Para Pendukung Mulai Linglung

16 Januari 2015   15:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:01 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendukung suatu gerakan atau mendukung sesesorang untuk menduduki suatu jabatan memang perlu pertaruhan lahir batin. Tidak hanya mulut yang senantiasa berucap kalimat pendukungan, tetapi rasa didalam hati hendaknya sama yakni tulus mendukung dengan segala konsekuensinya.

Yang namanya pendukung sebenernya sih boleh saja jika di kemudian hari berubah fikiran atau mata serta hatinya bru terbuka bahwa yang didukunngnya tidaklah sepenuhnya istimewa. Tapi yang perlu dipertanyakan ialah apakah saat awal menjatuhkan hati pada pilihan untuk mendukung tidak dilakukan sedikit penelitian bagaimana tentang profil yang didukungnya?

Jangan sampai saat kita berkoar-koar mendukung seseorang itu hanya ikut-ikutan saja atau tidak atas dasar panggilan hati. Solidaritas kepada teman, kepada komunitas, kepada agama atau bahkan hanya sekedar solidaritas yang entah atas dasar apa.

Sekarang kalau yang didukungnya ternyata mengecewakan bagaimana? Lari dari kenyataan? Menghapus rekam jejak tentang pernah memberikan dukungan? Nah, kalau yang seperti ini sih apa bedanya dengan si kancil anak nakal? Hanya benar-benar anak kecil yang jelas hanya ikut-ikutan belaka.

Bisa jadi saat ini wujud kekecewaan yang dituangkan melalui berbagai bentuk juga hanya ikut-ikutan semata. Padahal tidak mengerti benar apa permasalahannya dan apa makna dari kekecewaan para pendukung lainnya.

Fikirkan benar-benar dengan kepala yang dingin namun tetap dengan hati yang hangat.

Mendukung jangan sekedar ikut-ikutan saja. Dan ketika yang lain ramai-ramai mencaci karena “katanya” kecewa, juga jangan serta merta diikuti juga. Rasakan apa yang sesungguhnya diri kita rasakan.

Kalau memang feeling, maka dukunglah.

Kalau sudah mendukung, selamatkan orang yang kita dukung jangan sampai dipermalukan oleh orang lain. Bukan malah kebalikannya kita kembali mendukung orang lain yang sedang menghancurkan dukungan kita.

Mendukung seseorang untuk menduduki jabatan tertentu apalagi mempimpin organisasi yang besar bisa diibaratkan dengan manjatuhkan sebuah cinta yang tanpa syarat. Jangan karena ada embel-embelnya, juga jangan karena dijanjikan sesuatu atau karena hal-hal lainnya.

Ketika orang yang kita dukung sedikit saja melakukan kesalahan maka kita juga lantas ikut-ikutan mencacinya bahkan menjatuhkannya. Sama seperti kisah awal, mendukung tanpa berfikir dan kini mencaci juga tanpa berfikir.

So, sejak awal rasakan benar-benar dengan hati apa yang sesungguhnya dirasakan, tulus mendukung atau tidak. Karena percayalah bahwa rasa itu tidak pernah salah :p

(dnu, ditulis sambil makan nasi bungkus daun nan romantis haha…, 16 Januari 2015, 08.09)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun