Mohon tunggu...
Dewi Nur Fitriani
Dewi Nur Fitriani Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Jember

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kiprah Asrorul Mais dalam Mewujudkan Dunia Pendidikan yang Inklusi

18 November 2022   10:18 Diperbarui: 18 November 2022   10:22 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dokumen Pribadi

Penyandang difabel masih rentan mendapatkan diskriminasi mengenai pemenuhan hak di segala bidang, khususnya di bidang pendidikan. Tak jarang sekolah-sekolah bahkan perguruan tinggi masih enggan menerima murid atau mahasiswa difabel. Alasan paling umum yaitu ketidaksiapan sarana dan prasarana penunjang pendidikan untuk para difabel. 

Hal inilah yang menggugah Asrorul Mais (Mais, 39 tahun). Seorang tuna daksa  dari kecamatan Kaliwates untuk berjuang dan berupaya memenuhi hak difabel lainnya dalam aspek pendidikan, dengan cara mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif. Sistem pendidikan inklusif merupakan suatu kegiatan pendidikan yang membuka kesempatan bagi semua orang yang memiliki keterbatasan serta untuk menggali potensi serta bakat terpendamnya agar bisa mengenyam pendidikan dalam satu lingkungan dengan siswa umumnya.

Upaya Pak Mais dalam mewujudkan pendidikan inklusif khususnya di wilayah kampus  dilatarbelakangi saat beliau masih menjadi mahasiswa. Beliau mendengar kabar bahwa adik kelasnya saat di SLB (Sekolah Luar Biasa) yang seorang tuna netra ditolak ketika mendaftar di Universitas PGRI Argopuro Jember (UNIPAR) yang terletak di Jl. Jawa No.10, Tegal Boto Lor, Sumbersari, Kec. Sumbersari, Kabupaten Jember. Alasannya adalah ketidaksiapan sarana dan prasarana untuk mahasiswa difabel. Karena masalah itu, beliau menghadap dan berbicara langsung kepada dekan untuk menanyakan terkait masalah tersebut."Dia ditolak karena tuna netranya, saya marah, saya menghadap pak dekan, pak kenapa kok dia ditolak? Bukankah semua orang berhak mengenyam pendidikan?." Beliau menjelaskan jika dalam waktu satu minggu permasalahan tersebut tidak tuntas maka akan melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Setelah turunnya surat tersebut mahasiswa yang bersangkutan akhirnya diterima.

Setelah lulus S2 Pak Mais dipercaya untuk menjadi dosen di UNIPAR. Karena kinerjanya yang dinilai baik, pada tahun 2021 lalu beliau diamanahi menjadi Wakil Rektor 1. Dengan jabatan tersebut beliau berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan pendidikan inklusif di dunia kampus. Menurutnya, kampus harus menjadi salah satu tempat yang manusiawi. Maka dari itu beliau membuat kebijakan dengan menambahkan pendidikan inklusif di semua prodi pendidikan dan mewajibkan tiap jurusan untuk menempuh mata kuliah GEDSI (Gender, Equality, Disability, and Social Inclusion), yang artinya (Gender, Persamaan, Disabilitas dan Inklusi Sosial).  Mata kuliah tersebut ditambahkan agar pemahaman mahasiswa terhadap difabel lebih luas dan berhenti memandang mereka sebagai subjek yang terkucilkan.

"Itu yang saya wajibkan, bagaimana mereka harus menghargai gender, hidup sosial dan sebagainya, sehingga wawasan mahasiswa itu sudah memang melihat manusia dengan yang lain itu sama ndak ada perbedaan, itu jadi misi saya."  Upaya yang saat ini masih diperjuangkan beliau adalah terkait beasiswa bagi para difabel. Tahun lalu para difabel mendapat kuota beasiswa sebanyak 60 mahasiswa, sedangkan tahun ini hanya mendapat 10 kuota mahasiswa, padahal yang mendaftar beasiswa disabilitas ada 65 orang. Dengan kata lain sebanyak 55 mahasiswa tidak mendapat kejelasan. Untuk itu, pada tanggal 21 November nanti beliau berencana ke Jakarta untuk menemui menteri dan DPR RI komisi X untuk membicarakan hal tersebut. Pak Mais juga berjuang terkait fasilitas tempat tinggal bagi para disabilitas. Seperti yang saat ini sedang beliau  persiapkan dan ajukan berupa rumah susun bagi penyandang disabilitas.

"Jadi saya mengusulkan adanya rumah susun dan disabilitas center. Tujuannya apa? Agar mahasiswa nanti ketika kuliah di sini, dia tidak kost di kost-kostan di luar. Bukan bermaksud eksklusif tidak tapi coba bayangkan seorang tuna netra atau tuna daksa harus kost diluar dengan posisi kost yang tidak akses, sangat menyulitkan mereka kan." Ujar Pak Mais.

Upaya yang dilakukan Pak Mais tersebut sesuai dengan teori sosiologi yaitu, teori Tindakan Sosial Beriorentasi Tujuan milik Max Weber dalam buku "Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme" karya Pip Jones et all. Berdasarkan teori tersebut, seseorang akan melakukan suatu tindakan yang dirasa tepat agar tercapainya suatu tujuan. Dimana hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan Pak Mais, mulai dari melakukan laporan ke Komnas HAM, sampai pengajuan proposal tempat tinggal bagi disabilitas. Tindakan-tindakan Pak Mais tersebut menjadi cara terbaik untuk beliau lakukan dalam mewujudkan sistem pendidikan yang inklusi. Segala usaha yang dilakukan Pak Mais dan pencapaiannya tidak luput dari perjalanan beliau sebagai penyandang difabel selama ini. Beliau yang sedari dulu sadar bahwa difabel tidak dipedulikan oleh sekitar membuatnya berupaya untuk selalu ada ketika para difabel lain merasa hak-hak mereka tidak terpenuhi. Maka dari itu Pak Mais berharap dengan adanya Komunitas Persatuan Penyandang Cacat (PERPENCA) di wilayah Jember bisa menjadi langkah awal utuk menciptakan lingkungan yang inklusif bagi para difabel.

Penulis :

1. Ellisa Amalia Pramuditha 200910302133

2. Hikmah Lailatus Safitri 200910302004

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun