Mohon tunggu...
Dewi Nur Fitriani
Dewi Nur Fitriani Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Jember

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perhatian Pemerintah Minim, Pemenuhan Hak Penyandang Difabel Terabaikan

9 November 2022   20:50 Diperbarui: 9 November 2022   21:01 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret bapak Iwan penyandang difabel berat. (sumber : dokumen pribadi)

Terlahir dengan kondisi yang tidak sama dengan manusia pada umumnya bukanlah pilihan yang diinginkan para difabel. Dalam kehidupan masyarakat masalah terkait inklusifitas masih sering kali terjadi, terlebih bagi penyandang difabel. 

Inklusifitas dapat diartikan sebagai keterbukaan masyarakat pada segala hal yang mencakup cara pandang masyarakat terhadap kaum difabel, kesetaraan, pemenuhan hak, dan lain-lain, terlebih lagi bagi penyandang difabel berat yang dimana hidupnya akan selalu bergantung kepada alat-alat khusus dan orang-orang disekitarnya, selain kebutuhan khusus tersebut para difabel dengan kategori berat juga butuh akan identitas dan pengakuan diri dari pemerintah, terlebih untuk memudahkan dalam akses pelayanan public, kesehatan dan lainnya, berupa kepemilikan kartu identitas seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan akte kelahiran.

Arif Kurniawan (Iwan, 28 tahun) salah satu warga Desa Condro Kecamatan Kaliwetes merupakan penyandang difabel berat sejak lahir. Awalnya Ibu Siti Aminah (ibu lwan) 48 tahun menutup diri dari lingkungan karena kondisi anaknya yang difabel, namun lambat laun beliau dapat menerima kondisi anaknya yang berbeda dan kembali berinteraksi dengan warga seperti biasa. 

Sang ibu mengatakan bahwa sebelumnya seringkali membawa Iwan ke rumah sakit untuk diberi perawatan medis, namun sejak tahun 2019 beliau tidak lagi membawanya berobat karena (Kartu Indonesia Sehat) KIS yang dimiliki telah non-aktif, dan salah satu syarat untuk melakukan aktivasi adalah dengan KTP, menariknya di sini Pak Iwan yang sudah berumur 28 tahun belum memiliki kartu identitas tersebut, lantaran harus membawa yang bersangkutan ke kelurahan. Seharusnya pemerintah setempat mengerti akan keadaan para penyandang difabel berat tidak memungkinkan untuk mengikuti serangkaian pembuatan kartu identitas tersebut.

Sayangnya pemerintah setempat  sedikit abai terhadap keberadaan mereka. Padahal, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dimana pada pasal 63 menegaskan bahwa "Penduduk warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el)". 

"Harapannya ya mungkin lebih diperhatikan, biar dak diabaikan untuk difabel, yang difabel kan banyak mungkin ratusan saya ndak tau jugak mudah - mudahan sama pemerintah  juga diperhatikan, kasihan yang mungkin lebih parah dari Iwan masih banyak, kadang difabel punya kreatif apa bisa di bantu ya,, biar punya pundi-pundi buat ditabung" ujar Bu Amina penuh harap.

Komunitas Persatuan Penyandang Cacat (Perpenca) di Kecamatan Kaliwates dengan segala upaya berusaha untuk memperjuangkan hak para difabel agar mendapat perlakuan yang setara dengan masyarakat non difabel, dengan melakukan pendataan kepada para difabel di setiap Desa kecamatan Kaliwetes. 

Bapak Bahtiar Elhamidi selaku koordinator Perpenca Desa Condro sudah meminta agar petugas untuk datang ke kediaman para penyandang difabel berat. Namun pihak petugas memberikan persyaratan harus ada setidaknya lima orang difabel berat di setiap desa untuk dapat diberikan layanan pembuatan KTP di rumah.

Hal tersebut membuat Bu Aminah hanya pasrah menunggu kapan anaknya mendapat pelayanan tersebut, dikarenakan persyaratan diatas tidak terpenuhi, mengingat hingga saat ini  di Desa Condro hanya terdapat dua orang dengan kategori difabel berat.

Permasalahan yang dialami oleh pak Iwan ini sesuai dengan teori Struktural Fungsional dalam buku "Pengantar Teori Sosiologi" karya Damsar, dalam buku tersebut Damsar menjabarkan berdasarkan pendapat Ralp Dahrendorf tentang asumsi dasar yang dimiliki oleh teori struktural fungsional bahwa, pertama setiap masyarakat terdiri dari berbagai elemen yang terstruktur secara relatif mantap dan stabil, kedua elemen elemen tersebut terintegrasi dengan baik, ketiga setiap elemen dalam struktur memiliki fungsi yaitu memberi sumbangan kepada bertahannya struktur itu sebagai suatu system, keempat setiap struktur yang fungsional di landaskan  pada suatu konsensus nilai diantara para anggotannya.

Pertama pemerintah disini sebagai elemen yang terstruktur dalam mengeluarkan aturan bagi para penyandang difabel berat yang tidak mendapat pelayanan layak dalam hal administrasi, seperti kurangnya perhatian pemerintah pembuatan KTP  bagi para difabel terlebih dengan kategori berat, asumsi kedua mengenai elemen-elemen yang terstruktur terintegrasi dengan baik, namun dalam kenyataan yang seharusnya saling mendukung antara pemerintah dengan para difabel malah pemerintah saat ini tidak begitu memperhatikan kaum difabel, sementara kaum difabel memerlukan perhatian khusus dari pemerintah, asumsi ketiga terkait struktur memiliki fungsi, pemerintah sebagai pemangku kebijakan seharusnya memberikan pelayanan public bagi masyarakat, akan tetapi pelayanan public bagi penyandang difabel ringan maupun berat masih sangat minim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun