Menurut Djoni Gunanto (2020) politik dinasti adalah suatu proses regenerasi kekuasaan yang dilakukan  oleh para elite politik dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam politik dinasti setidaknya  terdapat empat anggota keluarga yang menduduki jabatan politik dalam pemerintahan. Praktik politik dinasti ini sebenarnya diterapkan pada negara yang menganut sistem monarki, akan tetapi seperti yang diketahui bahwa sejak masa orde lama sampai sekarang banyak elite politik yang terindikasi melakukan politik dinasti.Â
Politik dinasti ini dianggap sebagai suatu masalah yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan masyarakat karena Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi yang mana kekuasaan politik tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Oleh karena itu, politik dinasti dapat dikategorikan sebagai suatu praktik yang tidak sesuai dengan etika berpolitik. Jika politik dinasti tersebut dilanggengkan di Indonesia maka tidak dapat dipungkiri akan berdampak pula pada timbulnya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berimbas pada demokratisasi.Â
Fenomena politik dinasti ini dengan mudah dapat ditemui baik di ranah nasional maupun lokal. Pada ranah nasional, bibit terjadinya politik dinasti sudah dapat dilihat pada masa orde lama yang berasal dari keluarga Soekarno. Banyak dari anggota keluarga Soekarno yang terjun ke dunia politik seperti Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, dan Puan Maharani. Selain itu, pada masa orde baru bibit politik dinasti tersebut dilihat dari keluarga Soeharto atau dikenal dengan sebutan keluarga cendana. Anggota keluarga cendana banyak menguasai bidang perekonomian dan politik di Indonesia contohnya seperti Tutut, Titik, dan Tommy. Tak berhenti sampai disitu, keluarga Gus Dur pun terindikasi melakukan  praktik politik keluarga. Begitu pula dengan keluarga Susilo Bambang Yudhoyono mulai dari Agus Harimurti Yudhoyono, Edhie Baskoro dan sanak keluarga lainnya.Â
Sampai saat ini, politik dinasti terus berjalan di Indonesia. Presiden Joko Widodo pun disebut  hendak mengikuti jejak elite politik terdahulu sebab anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Walikota Solo dan menantunya Bobby Nasution menjadi Walikota Medan. Politik dinasti ini juga tumbuh subur di ranah lokal, pada pilkada 2020 terdapat 129 kandidat yang terindikasi hendak melakukan politik dinasti dan 57 diantaranya berhasil terpilih. Salah satu diantaranya yang paling terkenal berasal dari keluarga Ratu Atut di Banten yang disebut paling sukses dalam melanggengkan politik dinasti dalam lingkup daerah.Â
Melihat banyaknya elite politik yang berusaha mempertahankan kekuasaan untuk kepentingan kolektifnya tersebut tentu didasari oleh berbagai faktor. Tanpa disadari, budaya politik yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia itu sendirilah yang menjadi salah satu penyebab terbesar politik dinasti tetap jaya sampai sekarang. Masyarakat Indonesia menganut budaya politik gabungan yang terdiri dari budaya politik parokial 20%, budaya politik partisipan 16%, dan budaya politik subjek 60% (Rasaili, 2016: 4). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa masyarakat Indonesia cenderung menganut budaya politik subjek. Budaya politik subjek ini ditandai dengan masyarakat yang cenderung pasif. Pada dasarnya masyarakat tersebut paham terkait permasalahan dalam politik, akan tetapi mereka cenderung memilih untuk diam dan mengikuti begitu saja keputusan dari Pemerintah.Â
Budaya politik subjek tersebut sulit untuk membuat proses demokrasi berkembang. Dalam kaitannya dengan politik dinasti ini, masyarakat seolah-olah menormalisasi saja adanya politik dinasti karena mereka menganggap bahwa keputusan tersebut memang sudah seharusnya diterima dan tidak dapat ditentang. Sikap masyarakat yang acuh tak acuh seperti itulah yang membuat tidak adanya perubahan politik yang membawa kemajuan pada keberlangsungan sistem demokrasi ini.
Budaya politik subjek tersebut didukung pula oleh kuatnya aristokrasi dan feodalisme yang sudah hidup selama beratus-ratus tahun di Indonesia. Aristokrasi dan feodalisme tersebut ditandai dengan kekuasaan politik yang hanya dikuasai oleh segelintir masyarakat saja. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya suatu konstruksi sosial dalam masyarakat yang menganggap bahwa rakyat hanyalah kawula atau wong cilik yang tidak memiliki power untuk berpartisipasi dalam politik. Dampak akhirnya adalah muncul rasa ketidakpantasan dari rakyat ketika hendak memberikan masukan atau kritik kepada Pemerintah.
Pada negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi, semua masyarakat Indonesia memiliki hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu secara bebas dan adil. Prinsip demokrasi tersebut lah yang selalu menjadi alibi bagi para elite politik untuk menjalankan politik dinasti. Sedangkan, dalam sistem demokrasi tersebut diperlukan adanya akuntabilitas dan transplantasi untuk mencapai adanya good governance. Akuntabilitas dan transplantasi ini tidak akan bisa tercapai jika masih ada elemen-elemen yang memungkinkan untuk terjadinya pengkhususan pada seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan. Memang sebenarnya regulasi khusus terkait politik dinasti ini diperlukan di Indonesia, akan tetapi karena alasan kuat dari prinsip demokrasi tersebut membuat kemungkinan dari terbentuknya regulasi ini sangatlah kecil. Pada akhirnya regulasi khusus terkait politik dinasti hanyalah menjadi dilema politik. Oleh karena itu, satu-satunya solusi untuk memberantas politik dinasti dapat dimulai dari rakyat Indonesia itu sendiri, yaitu dengan merombak budaya politik yang tidak bersifat konstruktif sehingga demokrasi di Indonesia tidak berjalan secara prosedural saja.Â
Daftar Pustaka:
Gunanto, D. (2020). Tinjauan kritis politik dinasti di Indonesia. Sawala: Jurnal Administrasi Negara 8(2), 177-191.
Rasaili, W. (2016). Budaya Politik dan Kualitas Demokrasi dalam Pilkada 2015-2020 (Studi pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Pertama di Indonesia). ARISTO 4(2), Â 1-13.