Terkait pengesahan RUU, Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengungkapkan, terdapat 81 RUU yang diusulkan masuk Prolegnas Prioritas. "Dari DPR 41, 28 yang masih tersisa, 7 DPD, 4 pemerintah. Itu usulan, tapi kan belum jadi putusan. Jadi satu hal yang masih dikaji," kata Willy di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (29/8/2022). Willy membeberkan empat RUU yang diusulkan pemerintah masuk Prolegnas.
Keempat RUU itu adalah perampasan aset terkait tindak pidana, RUU tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2016 tentang Hak Paten. (sumber: Kompas.com)
Terkait tindak pidana yang dimaksudkan dalam RUU Perampasan aset ialah segala tindak pidana yang dapat merugikan Negara selain korupsi. Adapun kasus narkoba yang dianggap merugikan Negara sebab Negara mesti menyediakan biaya rehabilitasi bagi pengguna narkoba yang ingin direhabilitasi. Adapun kasus penyelundupan barang-barang impor yang sama hal nya merugikan negara, sebab mestinya terdapat biaya masuk bea cukai dan pajak impor yang harus dibayarkan.
Adapun satu kasus yang menjadi pusat perhatian akhir-akhir ini ialah kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang membuat pengesahan RUU Perampasan aset mesti di sahkan sesegera mungkin. Pasalnya memutus mata rantai kasus Tipikor dirasa lebih sulit daripada kasus lainnya. Selain itu, kerugian yang ditaksir tiap kasus Tipikor ini terbilang sangat besar nominalnya.
Selaras dengan pernyataan Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD mengenai kasus Tipikor dan transaksi mencurigakan oleh pejabat Negara. "Sulit memberantas korupsi itu, tolong melalui Pak Bambang Pacul (Ketua Komisi III) Pak, (rancangan) undang-undang Perampasan Aset tolong didukung, biar kami bisa ngambil begini-begini,"
"Tolong juga ada (RUU) Pembatasan Uang Kartal didukung Pak. Karena orang korupsi itu Pak, nurunin uang dari bank 500 miliar, dibawa ke Singapura, lalu ditukar uang dollar, lalu dia bilang ini menang judi katanya di singapura judi sah, lalu dibawa ke Indonesia sah,"ujar Mahfud dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III, Rabu (29/3/2023).
Terdapat tiga kelompok berdasarkan laporan hasil analisis (LHA) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) oleh Mahfud, yang menduga adanya transaksi mencurigakan dengan nilai yang cukup fantastis, yakni 349 Triliun oleh pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yakni sebesar Rp 35.548.999.231.280 yang melibatkan 461 entitas dari aparatur sipil negara (ASN), 11 entitas dari ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 entitas berasal dari non-ASN.
Kemudian disampaikan oleh Mahfud kembali mengenai transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kementerian Keuangan, Ibu Sri Mulyani di Komisi XI yang mengatakan hanya Rp 3 triliun, sedangkan nominal yang benar adalah 35 triliun. Kategori kedua adalah transaksi keuangan yang mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pegawai lain. Nilai transaksi di kategori tersebut sebesar Rp 53.821.874.839.402 triliun. Nilai transaksi tersebut melibatkan 30 entitas dari ASN Kemenkeu. Selanjutnya dua ASN dari kementerian/lembaga lain, dan 54 non ASN.
Pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad berpendapat akan pentingnya pengesahan RUU Perampasan Aset. Pasalnya, secara yuridis instrumen-instrumen hukum yang ada sekarang ini baik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU tindak pidana korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang belum sepenuhnya mampu merampas aset para koruptor. Dari sisi sosiologis terdapat kendala-kendala terhadap upaya merampas aset terhadap orang-orang atau pelaku korupsi, terkesan tidak bisa diadili meski sudah melakukan tindak pidana korupsi. Contohnya saja kesulitan yang dihadapi ketika pelaku Tipikor meninggal, kabur ataupun bersembunyi sebelum proses pengadilan, maka tidak bisa diadili. Dikhawatirkan terjadi pembiaran terhadap segala hasil aset dari pelaku Tipikor yang membuat Negara tak kunjung pulih dari segala kerugiannya. Kemudian. Dari sisi filosofis menurutnya, penegakan hukum tidak akan dikatakan berhasil apabila hanya sekadar menghukum para pelaku korupsi, tetapi juga hasil dari Tipikor. Mengingat hasil kejahatan tidak boleh dinikmati oleh siapapun sehingga mesti dirampas oleh Negara sesuai nilainya dengan jumlah aset Negara yang diambil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H