Depok, 11/03/2014 - Tadi saya naik ojek mau ke kantor Polresta Depok untuk urus SIM A. SIM saya sudah lama mati, lama-lama merasa buruk sendiri juga kalau menyetir tanpa SIM. Memang Pak Polisi belum ada yang menangkap atau merazia, tapi saya merasa buruk dan sudah melanggar hukum saja. Oh ya, tukang ojek saya tadi anak remaja yang dengan gaya cengengesan menasehati saya: "kalo cuma ke kantor Samsat ngapain pake helm mbak". Lalu saya jawab: "pakai dong, kan aturannya demikian, kita patuhi saja. Masyarakat kita ini susah diatur, kalau ga bisa disiplin ya wajar ga bisa maju-maju. Lagian saya bukan mau ke Samsat, tapi ke Polresta." Dia diam saja. Lalu di tengah perjalanan, seperti biasa tukang ojek suka nyelap-nyelip, kaki saya menabrak tubuh angkot karena tukang ojek nyelip dari kiri (untuk mendahului) dengan jarak yang terlalu dekat. Saya lalu refleks memukul bahu kanannya sambil menggerutu: "aduh sakit tahu! Ugal-ugalan sih". Dia sepertinya tadi bilang maaf sambil malu-malu dan melanjutkan perjalanan. Sesampai di depan Polresta, dia lansung nembak ongkosnya Rp 30,000. Saya kaget, "Ga 20 ribu? Naik taksi aja ga nyampe 30,000 argonya kalau dari komplek saya tadi". Lalu dia mengaku tidak punya kembalian, dan saya putuskan untuk ambil semua uang yang ia tunjukkan berjumlah 24,000. Tidak begitu ikhlas, tapi saya terima. Anak itu mungkin masih perlu banyak belajar. Sesampai di kantor Polres saya langsung ke ruang ujian teori, karena hari ini sesungguhnya ujian ulang saya, sempat ga lulus waktu tes pertama dihari yang sama ketika pendaftaran awal 2 minggu lalu. Saya bayar 25,000 untuk urus surat keterangan sehat (yang sebenarnya bisa diurus sendiri diluar kantor polisi), lalu Rp 120,000 untuk formulir (untuk SIM A baru, bukan perpanjangan), dan Rp 30,000 untuk asuransi. Total saya keluar uang Rp 175,000. Kata orang-orang, kalau lewat calo bisa sekitar Rp 500,000. Anyway, waktu ujian tadi, ada sekitar 7 orang dalam ruangan dan semua tidak lulus kecuali saya dan 1 orang lagi yang urus SIM C. Ada 1 orang yang tidak lulus lalu minta tolong Pak Polisi untuk ujian ulang hari ini juga karena suaminya harus kembali ke Papua. Pak Polisi takut dan meminta si ibu menunggu di luar agar nanti ditemui langsung oleh atasannya saja. Saya tidak tahu ceritanya setelah itu. Dalam hati saya, ternyata banyak yang tidak lulus. Saya juga termasuk yang mengulang, karena waktu awal dulu belagu sudah merasa paham soal aturan lalu lintas, teknis mengemudi, dan rambu/marka jalan. Semalam saya sudah belajar lewat internet, Alhamdulillaah hari ini lulus, yey! Tadi saya salah 5 dari 30 soal. Untuk lulus, maksimal salah 9. Ketika tidak lulus kemarin, saya jadi sadar bahwa masih banyak yang saya tidak ketahui soal lalu lintas. Wawasan tentang kasus-kasus kecelakaan dan pihak mana yang sebenarnya salah pada kasus tersebut, saya juga baru mendalami semalam, untuk persiapan ujian hari ini. Intinya, setelah menjalani ujian ini, saya jadi belajar dan lebih melek "adab" berlalu lintas dan berbagai aturan-aturan lain. Lantas daya jadi bertanya dalam hati, "kalau banyak orang yang urus SIM lewat calo sehingga melewati proses ujian teori dan praktek, wajar saja adab kita berlalu lintas sangat rendah? Sudah tahu saja belum tentu benar-benar beradab, apalagi yang tidak tahu?" Adapun waktu ujian praktek, saya diingatkan soal pentingnya ahli dalam memajukan mobil yang sedang berhenti dengan rem tangan di tanjakan, tanpa ada termundur sama sekali terlebih dulu sebelum berhasil maju. Tadi deg-degan juga, karena dipantengi Pak Polisi, dan kalau ada termundur dulu langsung ga lulus. Begitu pula kalau berparkir mundur tidak sekali jalan tanpa menjatuhkan balok atau melanggar garis batas putih yang ada. Untuk yang ujian motor, kaki itu tidak boleh turun ketika melakukan putaran dan berkendara zig-zag. Balok-balok yang ada juga tidak boleh jatuh. Tapi syukur karena tadi pelan-pelan dan hati-hati, bisa juga. Saya lulus ujian praktek dan sekarang masih mengantri untuk foto. Sejauh ini pelayanan Bapak/Ibu polisi disini tampak baik. Sekarang kalau urus SIM sendiri sudah tidak sebelantara dulu. Prosedur, biaya, sampai proses mengoreksi hasil ujian sudah lebih jelas. Tadi waktu hasil ujian teori saya dikoreksi, saya menyaksikan sendiri dan bersama kami menghitung jumlah kesalahan jawaban. Walau saya masih agak bingung mengapa lembar jawabannya mesti diisi dengan pensil, setidaknya saya sudah cukup apresiasi bahwa proses mengoreksi dilakukan bersama. Begitu pula waktu ujian praktek, saya sudah dijelaskan diawal apa-apa saja yang bisa membuat saya tidak lulus (dan harus mengulang sekitar dua minggu lagi). Saya sudah menulis panjang, panggilan nama saya menuju ruang foto tak kunjung datang. Banyak orang memang, jadi antriannya cukup panjang. Tapi karena ada tempat duduknyang banyak, saya jadi bisa menunggu dengan santai sambil menulis posting ini. Paling tidak hari ini saya sudah merasa cukup senang karena sudah melewati proses ini. Kinerja Kepolisian kita memang masih memiliki citra buruk. Namun saat ini proses perbaikan tengah berlangsung. Lalu lintas kita berantakan tidak sepenuhnya salah Pak Polisi, malah mungkin lebih banyak salah kita selaku masyarakat yang tidak sabaran, mau menang sendiri, dan bahkan enggan meluangkan waktu 1 hari penuh untuk mengurus sendiri Surat Izin Mengemudi-nya sesuai prosedur, yang akhirnya membuat kebanyakan kita menjadi pemakai jalan yang tidak paham dengan aturan dan etika berlalu lintas, karena kita malas belajar, sehingga otomatis malas ujian, dan akhirnya jalur gelap "menembak SIM" menjadi solusi untuk kita. Seperti tadi, sudah jelas ibu tadi tidak lulus, kenapa dia masih setengah memaksa untuk diluluskan atau ujian ulang di hari ini juga yang jelas tidak sesuai jadual? Apakah kondisi bahwa dia harus ke Papua dalam waktu dekat merupakan urusan Pak Polisi? Sudah tahu mau ujian SIM, mengapa tidak belajar dulu? Tidak jarang, kita yang membuat para "penegak hukum" jadi "melanggar hukum". Semoga saya dan kawan-kawan sekalian, tidak perlu menjadi bagian dari kelompok masyarakat yang demikian. Sudah bagus Pak Polisi mau berubah dan bekerja lurus sesuai prosedur, mengapa kita ingin "belok-belokkan" lagi? Pendeknya, untuk Indonesia yang lebih baik, bukan hanya Pak Polisi, Kepolisian, atau Pemerintah saja yang butuh evaluasi dan butuh banyak perbaikan. Kita, masyarakat, juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H