Mohon tunggu...
Dewi Meisari Haryanti
Dewi Meisari Haryanti Mohon Tunggu... -

emorational economist..

Selanjutnya

Tutup

Nature

Apa itu Generasi Hijau?

21 April 2012   02:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:20 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tebing Preikestolen, di Stavanger, Norwegia

Terinspirasi oleh Pak Rhenald Kasali yang senang menantang mahasiswanya untuk memilikipassport dan pergi ke luar negeri, saya senang menantang mahasiswa untuk berpetualang dan mencoba menyatu dengan alam. Mahasiswa pun bertanya, “bagaimana, bu, caranya?” Caranya adalah dengan melakukan wisata petualangan, khususnya mendaki gunung atau menyelam (diving). Apa perlunya? Kurang lebih sama dengan apa yang dimaksud dengan Pak Rhenald, experiential learning itu sulit sekali disubstitusi. Maksud Pak Rhenald, kalau mereka melihat sendiri betapa bangsa lain dapat tertib dalam menyeberang, dapat disiplin dan tidak membuang sampah sembarangan, dan betapa bangsa lain memberi kehormatan yang tinggi untuk para pejalan kaki, perasaan malu sendiri akan muncul dengan sendirinya, perasaan iri akan turut muncul, dan sukur-sukur kalau pulang ke tanah air, ingin melakukan sesuatu yang tidak kalah baiknya dengan yang telah dilakukan oleh bangsa-bangsa lain tersebut. Saya termasuk yang mengalami perasaan tersebut ketika bersekolah di luar negeri. Syukurnya, saya termasuk yang pulang dengan semangat bahwa Indonesia harusnya juga bisa. Tapi tetap, ada kata, harusnya. Kembali ke apa perlunya menyatu dengan alam, khususnya dengan mendaki gunung atau menyelam. Wisata Kota dapat sangat menyenangkan, apalagi memang ke kota-kota yang indah seperti Paris, Venice, Roma, New York, atau yang paling dekat, Singapura.  Tapi ada satu hal yang kurang, umumnya wisata kota tidak meninggalkan kesan magis yang lebih bersifat spiritual.  Seorang teman saya yang agnostic berkata, “when i see nature, i see God” . Ada pula seorang wanita baya berusia sekitar 70 tahun yang kebetulan bersebelahan dengan saya waktu di bus bandara menuju Oslo, juga bercerita akan hal yang sama. Dia percaya, alam adalah kebesaran yang suprim (supreme power) di mana di dalamnya sudah terkandung sistem sebab akibat yang sebegitu kompleks namun begitu teratur, di mana di dalam sistem sebab akibat tersebut tercakup pula hubungan sebab akibat antara alam dan manusia. Oleh karena itu, ajarannya adalah bahwa, alam mengandung energi, manusia mengandung energi. Namun cara energi alam bereaksi sangat bergantung pada energi seperti apa yang dikeluarkan oleh manusia. Jadi kalau energi kita negatif, akan negatif pula reaksi alam semesta bagi kita. Bahasa rakyatnya, kalau tidak mau dijahati maka janganlah berbuat jahat. Ajaran yang baik, bukan? Di zaman sekarang ini di mana filsafat tentang etika sudah cukup terbangun dengan baik, memeluk agama tampaknya bukan lagi satu-satunya cara untuk merasakan spiritual moment yang luar biasa menenangkan, mendamaikan, dan otomatis, membahagiakan. Salah satu cara yang umum didapatkan untuk mendapatkan momen itu adalah dengan menyatu dengan alam. Sejujurnya saya tidak mengerti spiritual moment macam apa yang dirasakan oleh para atheist. Paling tidak, dari cerita wanita baya di bus waktu itu, dia merasa sangat kecil dibandingkan sistem alam semesta yang begitu,,, semesta. Juga merasa betapa begitu banyaknya rahasia alam yang belum diketahui manusia, sehingga pulang-pulang, ia merasa lebih rendah hati dan lebih tenang karena keindahan alam itu terlihat begitu harmoni. Dampak menenangkan tersebut kemudian membuat ibu tersebut sangat sayang terhadap alam. Maka dari itu Ia tidak rela manakala kemurnian alam dirusak, dan akan marah manakala melihat perilaku manusia yang merusak alam.  Tak peduli sekecil apa pun bentuk pengrusakan itu, seperti “sekedar” membuang sampah sembarangan, Ia akan marah. Bagaimana tidak, alam sudah menjalankan fungsi layaknya Tuhan baginya. Alam adalah pengandung sistem sebab akibat yang super indah, indah karena ia begitu kompleks namun tetap, begitu harmonis. Alam juga pemberi ketenangan, pemberi spiritual moment. Sehingga Ia  memiliki rasa hormat terhadap alam, karena ia menyadari begitu besarnya jasa alam bagi hidupnya. Kalau orang yang Anda hormati disakiti atau dicemooh orang lain kemungkinan besar Anda akan ikut tersinggung, bukan? Itulah dahsyatnya dampak menyatu dengan alam, bahkan terhadap seorang atheist. Lantas apa hubungannya cerita wanita baya itu dengan generasi hijau? Generasi hijau adalah generasi yang sudah mengalami apa yang wanita baya tersebut alami, sehingga dapat merasakan apa yang wanita baya tersebut rasakan. Dampak pengalaman menyatu dengan alam terhadap wanita baya itu kurang lebih sama dengan yang saya alami. Hanya sedikit berbeda pada posisi alam di dalam jiwa saya. Jika bagi ibu itu sudah seperti Tuhannya, bagi saya seorang muslim dan anak Pancasila yang sangat yakin dengan keberadaan  Tuhan Yang Maha Esa, posisi alam adalah sebagai bukti yang mengingatkan saya akan ke-mahabesar-an dan ke-mahapintar-an Tuhan, yang membuat saya semakin yakin akan firmannya dalam Al-quran surat Asy-Syuura ayat 30: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Karena Dia telah menciptakan alam semesta dan seisinya dengan tatanan yang begitu indah , yang akan mengantarkan kita ke akhir cerita yang indah pula, selama tidak merusak tatanan tersebut. Kembali lagi ke generasi hijau. Metode pendidikan yang umum  dilakukan oleh orang tua kepada anaknya adalah dengan cara memberi tahu atau menasihati. “Jangan buang sampah sembarangan, ya, Nak”, “Kalau punya usaha, jangan buang limbahnya sembarangan, ya, Nak. Kasihan masyarakat sekitar yang terkena dampak buruknya”, dan bentuk-bentuk kalimat dengan kata “jangan” lainnyayang umum menjadi bahan nasihat orang tua. Dengan mengajak anak-anaknya bergaul dengan alam, melihat sendiri indahnya kemurnian alam, dan membuat mereka merasa dekat dengan alam, saya rasa orang tua tidak akan perlu lagi menasihati dengan berbagai bentuk kalimat yang mengandung kata “jangan” itu. Mengapa? Karena rasa sayang kepada alam, rasa hormat, dan rasa tidak rela melihat alam dirusak akan muncul dengan sendirinya di dalam dirinya. Sehingga anak tersebut  tidak akan melakukan pengrusakan terhadap alam, yang juga berarti, anak tersebut sudah menjadi bagian dari generasi hijau. Bagaimana dengan Kita? (DM)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun