Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita dan Inklusifitas Beragama

6 April 2024   16:24 Diperbarui: 6 April 2024   16:27 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cnn indonesia - takjil

Empat hari lagi, kita sudah bertemu dengan hari raya Idul Fitri. Tahun ini adalah 1445 Hijriah.  Ramadan yang kita jalani saat ini, jika 10 hari pertama Ramadan adalah rahmat, kedua magfirah, maka sepertiga terakhir adalah itqum minan nar (menjaga dari api neraka).

Jika dilihat dari jauh, Ramadan kali ini menyuguhkan keriang gembiraan yang artinya juga menjadi rahmat bagi semesta. Misalnya soal takjil yang memang sangat biasa ada saat ramadan di seluruh pelosok Indonesia, ramadan kali ini menjadi istimewa karena menjadi perhatian banyak orang , muslim maupun non muslim.

Bisa dikatakan takjil pada ramadan kali ini adalah pemersatu bangsa dengan adanya war takjil. Muslim dan non muslim sama-sama berburu takjil. Meski dengan motivasi berbeda, tidak menyurutkan mereka untuk memperoleh takjil sesegera mungkin. Perburuan itu tidak menimbulkan konflik, malah menimbulkan perasaan yang berbeda, lain dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini tentu keberuntungan bagi sang penjual karena lebih banyak rezeki yang mereka terima alias lebih laku.

Selain itu, kita tidak bisa menutup mata pada semangat berbagi yang semakin membaik . Di berbagai media termasuk media sosial sering diperlihatkan non muslim yang berbagi kepada umat muslim dalam bentuk bermacam-macam, ada yang berbentuk takjil, sembako (padahal mereka tidak punya kewajiban membayar zakat). Situasi ini memberi nuansa rahmat bulan puasa dan berkah bagi semua. Inilah kondisi inklusif yang ideal bagi bangsa yang majemuk seperti Indonesia ini.

Namun ada saja kelompok yang seakan mempersoalkan kondisi yang sudah baik ini. Kelompok-kelompok yang mempersoalkan ini justru berasal dari kalangan umat Islam sendiri , atas nama pemurnian agama. Mereka mempersoalkan bahkan mengecam ritual-ritual akulturasi Islam dan kultur jawa, Nuzulul Quran misalnya. Kelompok ini merasa menjadi orang yang paling beriman dibanding yang lain karena merasa berada di garis Islam murni tanpa akulturasi. Ini adalah noda dalam iklim inklusif Indonesia yang sudah baik ini.

Mari kita semakin sadar soal hakekat beragama. Tidak perlu merasa benar dan suci dibanding yang lain. Kita serasa malu terhadap agama lain yang sudah bersikap baik terhadap kita. Dengan sesama muslim hendaknya kita menuju kemenangan bersama-sama untuk menjadi menjadi pribadi yang fitri yang terbebas dari belenggu sentimen primordial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun