Sekitar tiga tahun lalu ada sebuah film pendek yang bejudul tilik yang menampilkan seorang ibu yang suaminya akan maju dalam pemilihan kades di peiode depan. Film itu memperlihatkan sekelompok ibu-ibu yang naik truk dan akan menjenguk ibu Lurah yang sakit dan dirawat di umah sakit.
Obrolan di atas truk penuh dengan tayangan bu Tejo (ibu itu) yang membicarakan soal kembang desa mereka bernama Dian. Entah karena iri atau dengki, bu tejo melontarkan kata-kata dengan nada negatif. Bu Tejo benar-benar nyinyir.
Berbeda dengan bu Tejo, diantara ibu-ibu itu ada yang bernama Yu Ning yang bijak melihat pesoalan. Meski ibu-ibu lain membicarakan Dian soal pekerjaannya yang tidak benar, Yu Ning tidak pecaya begitu saja pandangan negatif dari ibu-ibu tadi. Malah dia meluruskan bahwa tidak baik jika mereka menuduh dengan prasangka-prasangka yang mungkin keliru. Menurutnya, prasangka-prasangka itu harus diputuskan di lapangan. Dia bahkan minta mereka tidak nyinyir terhadap Dian karena mereka tidak mengetahui secara persis.
Saya jadi ingat juga dengan beberapa orang di Indonesia yang seringkali bertingkah dan berucap seperti bu Tejo. Sepanjang dua periode pemerintahan bapak Joko Widodo, mereka selalu memperlihatkan ketidaksenangan mereka terhadap presiden. Bahkan ada diantara mereka yang merupakan tokoh reformasi dan dihormati. Namun sebagai negarawan banyak tokoh yang tidak bisa menjaga lisannya sehingga mereka seperti bu Tejo yang tidak bisa mengendalikan hati dan lisannya.
Memang dalam alam demokrasi seperti sekarang ini, kebebasan berpendapat dan kritik dijamin oleh negara. Pengelola dan pemimpin negara sadar bahwa pendekatan soal informasi pada saat ini harus berbeda dengan pendekatan pada saat orde baru. Pada masa reformasi, demokrasi berkembang dengan baik. Oposis, aspirasi dan kritik adalah unsur yang harus tumbuh dengan baik untuk membuat pemerintah dan negara juga tumbuh dengan baik pula.
Kritik adalah hak dasar (asasi) yang dilindungi undang-undang. Namun, kebanyakan kita masih kabur antara kritik, nyinyir, hujatan dan ujaran kebencian yang rentan memecah belah masyarakat. Seperti bu Tejo yang mau repot untuk soal-soal yang remeh temeh dan bertone negatif. Sebaliknya Yu Ning menggunakan akal sehatnya dan bijak menggunakan dan menganalisa informasi.
Jika di Swedia, misalnya, orang bisa menghina simbol keyakinan umat lain seperti membakar al-quran atas nama demokrasi, haruskah di Indonesia juga permisif terhadap ucapan yang tidak beradab atas nama demokrasi?
Jadi kita harus tetap kritis, dan bukan nyinyir seperti bu Tejo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H