Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Sensitivitas Pendakwah

28 November 2020   03:20 Diperbarui: 28 November 2020   03:54 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin dari kita masih ingat sekitar tiga atau emat tahun lalu di Bali ada penolakan ceramah agama dari seorang ustaz terkenal di tanah air. Yang mengejutkan adalah pihak yang menolak itu bukan dari kalangan yang berbeda dengan sang ustaz, namun justru dari kalangan muslim itu sendiri.

Setelah negosiasi yang sulit dan panjang dan sampai aparat turun tangan, akhirnya pendakwah itu bisa melanjutkan rencananya, namun sebelumnya dia diminta pihak yang semula menolaknya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan mencium bendera merah putih.

Selain ustaz di atas, beberapa pendakwah pernah ditolak masyakat seagama karena pandangan-pandangannya. Penolakan itu bukan saja secara verbal namun juga mengarah pada kekerasan, seperti membawa potongan balok kayu sebagai alat untuk melempar.

Beberapa pengamat mengemukakan bahwa penolakan itu semata karena soal-soal formal seperti dari suku apa atau dari kalangan apa, namun karena para penceramah itu dinilai kurang adanya control diri dari penceramah itu sendiri.

Pengamat mencontohkan sang ustaz yang pernah ditolak di Bali kurang punya mengelolaan hasrat untuk melakukan pembicaraan (dakwah) yang bersifat menghasut atau menimbulkan kebencian. Prespektif sang ustaz biasanya diketahui dari media sosial, dimana banyak yang memposting isi ceramah mereka sebelumnya. Ceramah mereka kebanyakan karena pandangan sang ustaz yang hitam putih terhadap kebenaran. Mereka sering menyodorkan kebenaran tunggal dimana diluar apa yang mereka kemukakan adalah salah.

Bagi kaum muslim di Bali misalnya, pandangan seperti itu akan dianggap satu pandangan sempit dan kemungkinan besar tidak ditema. Mereka (muslim Bali) hidup di Bali sebagai monoritas dan mereka merasa dihargai oleh mayoritas penduduk Bali yang beragama Hindu. Berperasaan sama dengan mereka dan dihargai bukan saja karena agama yang berbeda tapi juga karena sebagai pendatang yang mencari nafkah di sana. Kondisi toleransi di sana relatif baik dimana mayoritas biasanya menganggap mereka sama dengan minoritas. Sehingga pandangan sempit dan berprespektif menimbulkan kebencian kepada pihak yang berbeda secara spontan akan ditolak oleh mereka karena dianggap akan menimbulkan friksi perpecahan.

Karena itu para ustaz atau ulama yang punya kewajiban menyiarkan agama kepada umat, alangkah baiknya untuk memiliki sensivitas terhadap umat. Apalagi zaman sekarang, semua orang bisa merekam dan menyebarkannya dengan sangat mudah, maka visi damai harus ditekankan dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun