Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Setelah Pilkada, Mari Kita Rekonsiliasi

1 Juli 2018   20:47 Diperbarui: 1 Juli 2018   21:06 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbuat salah itu manusiawi, tapi menyalahkan orang lain itu (watak) politik Hubert Humprey Politikus Amerika Serikat (1911-1978)

Dulu, keragaman dipahami dengan lebih baik terutama karena pemerintah saat itu (terlepas dari cranya) menekankan arti keberagaman bagi bangsa Indonesia. Indonesia terdiri dari banyak suku, banyak bahasa daerah, banyak agama dan etnis yang dipersatukan dalam satu bangsa. Sehingga satu pihak menghargai pihak lainnya yang berbeda.

Jika kita ingat pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) tahun 2014 lalu, politik memanas dan membawa efek pada kondisi masyarakat yang juga ikut terpolarisasi. Polarisasi itu sangat tajam dan melingkupi banyak hal yang sebelumny tak pernah ada atau tak pernah disinggung, seperti agama, suku dan orientasi politik.

Polarisasi itu mencapai puncaknya ketika Pilkada Jakarta tahun 2016 dan 2017. Saat itu agama secara kasat mata dijadikan alat untuk menarik simpati salah satu paslon. Dan dengan logika-logika tertentu, masyarakat Jakarta yang sebelumnya dipandang sangat rasional terjerembab pada alat kampaye itu dan polarisasi yang sangat tajam tak terelakkan.

Pada Pilkada 2018 yang telah berlalu dengan aman itu, hanya daerah-daerah tertentu saja yang terpolarisasi karena suku dan asal paslon, selebihnya berlangsung dengan aman dan baik.

Hanya saja karena kampanye Pilkada tidak saja dilakukan melalui kampanye konvensiona (di lapangan, dengan atap muka dll) tapi merambah ke media sosial maka kampanye yang dilakukan bertambah massif. Di ranah itu muncul lovers (pemuja) dan haters (pembenci). Kita ingat juga saat Pilpres 2014 muncul lovers dan haters Joko Widodo dan lovers serta haters Prabowo Subianto yang melakukan kontestasi Pilpres.

Lalu fenomena lovers dan haters itu menjadi 'abadi', meski Pilpres sudah berlalu . Perseteruan itu berlanjut dan merambah pada partai-partai pengusung. Elitnya juga tak henti-henti untuk mencaci lawan partai atau calon yang ditawarkan partai yang berseberangan dengan partainya. Itu semacam peluru untuk menyerang dan memperdaya lawan politik. Bagi penyerang, taka da sikap atau perilaku lawannya yang benar karena semua salah atau tak tepat di matanya. Sebaliknya dia (dan pendukungnya) memuja pihaknya sendiri.

Inilah yang disebut oleh Humprey sebagai watak politik, yaitu menyalahkan orang lain (baca : lawan politik). Dan konyolnya, banyak masyarakat terpengaruh. Itu yang mementuk polarisasi ala pendukung politik.

 Pilkada sudah berlalu beberapa saat yang lalu dan berlangsung dengan damai. Sudah saatnya pihak-pihak yang terjerembab dalam polarisasi pendukung dan para paslon yang mengikuti kontestasi untuk melakukan rekonsiliasi demi demokrasi bangsa kita. Kita harus menghargai dan menjunjung tinggi hasil Pilkada tersebut Hanya dengan menghargai kita bisa mewujudkan Indonesia yang damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun