Ketika malam mulai membuka layar panggungnya, aku memperhatikan sambil menikmati secangkir lamunan, yang diaduk bersama serpihan kenangan tentang cerita sejak pagi.
Senyumku mengundang para penikmat, yang ingin menyaksikan teatrikal malam yang akan digelar.
Tak perlu menyediakan tikar. Cukupkan dengan bersandar di sudut-sudut yang tak bernyawa.
Gelak tawa nampaknya mulai menggenangi nuansa. Di mana pidato semesta telah disambut oleh riuhnya suara malam. Mulai kuaduk lagi sambil menuang serpihan cerita, agar menjadi refleksi, sembari menunggu lakon yang masih menjadi rahasia.
Dan rupanya benar. Sebuah lakon yang memantik semangat penikmat malam. Rembulan yang ragu-ragu ketika dipinang, bersama bintang-bintang yang menjadi dayang-dayang. Bongkahan air yang memaksa diri menjadi angin, makin membuatnya tersipu manja.
Tentu saja gemas sekaligus terpana. Bahwasanya ia berparas mulia, senyuman elok menggulungkan niat-niat jahat, juga kecongkakan yang sengaja diamblaskan ke dalam pertiwi. Jangan khawatir, aroma sedap malam menetralkan perih hati. Jikalau malam ini kecewa oleh lontaran sindir dari tetabuhan tengah malam. Tanda pagelaran kembali terlipat rapi, dan memasukkan ke dalam kotak ingatan penikmat.
Tak mengapa. Secarik putih akan kembali tergores indah pada malam berikutnya. Dengan tampilan bersahaja penuh canda, menggemakan pesan yang tercerna dalam saraf-saraf bawah sadar, dan kembali menghangatkan sisi-sisi jagad di dalam perapian, ditemani bongkahan rindu akan ketenangan.
Yogya, 08 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H