Pencanangan Gerakan Nasional Anti Korupsi (GNAK) berupa Memorandum of Understanding (MoU) antara Ketua PBNU KH.A.Hasyim Muzadi, Ketua PP Muhammadiyah Prof.Dr.Sya'fii Ma'arif dan Direktur Eksekutif LSM Kemitraan DR.HS Dillon pada tanggal 15 November 2003, rasanya baru saja terjadi. Hampir tujuh tahun setelah GNAK dicanangkan, namun aku masih gregetan.Â
Gerakan ini belum membumi. Mengapa ? pertanyaan itu menghantui aku, Dewi Laily Purnamasari dan juga sebagian besar dari hampir 220 juta penduduk Indonesia. Masih terlihat hampir di semua daerah APBD (juga APBN di tingkat nasional) ternyata tidak berpihak kepada rakyat. Pemborosan (mark up), in-efisiensi, manipulasi laporan, dan bentuk-bentuk penyimpangan lain menjadi artefak yang nyata di dalam pelaksanaan Pemerintahan.Â
Peran perempuan dalam korupsi  ada di mana ? Aku tak akan membahas perempuan sebagai penyebab korupsi. Namun, aku ingin menulis pengalamanku bersama temanku, Ipah Jahrotunnasipah membedah APBD kota Cirebon selama lima tahun (tahun 2000 - 2005). Kami bekerja bersama di lembaga LSM Fahmina Institute Cirebon.
Hasil bedah kami telah melahirkan sebuah buku berjudul  'Bukan Kota Wali' : Relasi Rakyat-Negara dalam Kebijakan Pemerintah Kota. Buku ini diterbitkan oleh Kutub Fahmina.  Eko Prasetyo, Direktur Pusham UII Yogyakarta memberikan kata pengantar. Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan memberikan kata sambutan.Â
Buku ini merupakan hasil penelitian sosial dari para aktivis muda (saat itu aku dan sahabat-ku berusia 30 tahun-an) yang memiliki sense of belonging. Kami, perempuan di daerah juga mampu menempatkan diri sebagai agent of change. Kami ingin membuat para koruptor kapok! Berhasilkah ?Â
Sahabat-ku Ipah lebih gigih dari-ku dalam melakukan advokasi. Dia lihai menulis di media juga mampu memobilisasi massa. Gerakan anti korupsi baru secara masif dilakukan di kota Cirebon pada kasus tindak pidana korupsi APBD 2001. Atau lebih dikenal dengan istilah APBD Gate! Mahasiswa-pun turun ke jalan sampai mengusung aksi mogok makan. Forum Masyarakat Basmi Korupsi (FMBK) yang secara khusus memperoleh wewenang dari masyarakat dan para anggota Dewan Kota (kumpulan berbagai komunitas di kota Cirebon) untuk memantau  kasus APBD Gate ini. Sekretaris Jenderal-nya adalah sahabat-ku Ipah. Mas Eko menyampaikan bahwa buku Bukan Kota Wali mendedahkan perspektif kebijakan yang tidak peka gender.
Dalam perancangan anggaran maupun perumusan kebijakan tampak dengan jelas : bagaimana peran perempuan yang sangat terbatas ? Tigapuluh wakil rakyat saat itu semuanya laki-laki. Jadi, aku berusaha menjadi wakil rakyat tandingan. Ha3 ... mana bisa ? Ya ... di bisa-bisa-in aja! Begini ceritanya. Dokumen APBD itu kurang lebih setebal 200 halaman. Bila di fotocopy cuma butuh tidak lebih dari duapuluh ribu rupiah. Tapi, susahnya minta ampun, aku rakyat tak ada kesempatan untuk memilikinya.Â
Akhirnya, kuputuskan : Â fotocopy dokumen milik seseorang yang dengan sembarangan meletakkan dokumen itu di ruang kerjaku sebagai sekretaris partai). Jadilah aku rakyat yang punya dokumen penting wakil rakyat.Â