Apa Itu Sharenting?
Istilah ini mulai diperkenalkan ketika makin marak orang tua membagikan cerita anak berupa foto atau video di media sosial. Bila ditilik dari akar katanya, istilah ini berasal dari kata 'sharing' (berbagi) dan 'parenting' (pengasuhan anak).
Pasti setiap aktivitas di media sosial akan ada nilai positif dan dampak negatifnya. Kali ini aku ingin membagikan pengalaman ketika foto atau video anak digunakan untuk menjadi bagian dari artikel yang ditulis.
Aku secara sadar menggunakan foto atau video tersebut sebagai jejak kenangan anak. Cerita yang dibagikan dalam bentuk artikel ada ditulis di blog pribadi dan di Kompasiana. K-Ners bisa menjejak di artikelku, sebagian besar ada foto anakku. Namun, aku tetap menggunakan batasan yang ketat saat mengunggah foto atau video di media sosial.
Silakan mampir di artikel terkait: Seru Loh! Berkuda di Kebun Teh Puncak
Aturan membagikan foto atau video di media sosial terutama adalah tentang pakaian dan pose. Jadi hanya akan membagikan foto terutama anak perempuan yang menggunakan jilbab dan pakaian menutup aurat saat dia sudah berusia di atas 7 tahun. Ada beberapa foto saat balita masih belum menggunakan jilbab, itu tidak mengapa. Pose juga harus memenuhi kaidah kesopanan.
Ada hal penting yang harus dijaga agar tidak menimbulkan dampak negatif. Kita harus merahasiakan tanggal kelahiran anak. Bila anak masih TK atau SD dan belum paham tentang kewaspadaan diri, jangan menjelaskan secara detail lokasi sekolah. Hindari membagi sesuatu yang tidak disukai anak atau dapat mempermalukan mereka.
Sampai usia SD, usahakan nomor anak adalah nomor yang dipegang orang tua. Hindari juga anak dari memiliki telepon genggam dengan nomor pribadi. Â Sejauh ini, anakku memang baru punya nomor pribadi setelah SMA. Bahkan di boarding school tidak boleh membawa telepon genggam, tetapi boleh membawa komputer jinjing untuk tugas dan segala keperluan akademik. Telepon genggam hanya bisa digunakan saat berada di rumah liburan.