Aku teringat percakapanku dengan Teteh, anakku bungsu di Masjidil Haram. Kala itu Teteh sedang menanti waktu shalat isya selepas shalat maghrib. Aku memintanya untuk mengambilkan Al-Qur'an dari lemari khusus di dekat kolom masjid. Teteh membaca Al-Quran dengan tartil bergantian denganku agar waktu menunggu terisi dengan kebaikan.
"Bu ... Apa Ibu sudah mendoakan saudara-saudara kita di Palestina? Terutama anak-anaknya..." Aku sejenak menoleh dan menatap wajah Teteh dengan seksama. Teteh tampak serius dan bertanya ulang, "Sudah belum Bu ... Kasihan mereka. Aku sedih kalau membaca ceritanya." Tampak mata Teteh berkaca-kaca.
"Iya sayang ... Ibu sudah dan selalu melangitkan doa terbaik untuk saudara-saudara kita di Palestina." Aku peluk Teteh erat.
Ternyata kami diperhatikan oleh salah seorang jamaah yang duduk tak begitu jauh. Dia panggil aku untuk mendekat dengan lambaian tangan dan senyumnya. Aku ajak Teteh bergeser ke dekatnya. Aku bersalaman sambil memberi salam, "Assalamu'laikum ..." Lalu dia bertanya dalam bahasa Arab yang aku mengerti sedikit-sedikit saja, "Siapa nama anak ini?" Aku berbisik kepada Teteh untuk menjawab. "Maryam." jawab Teteh sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Masyaallah ... Maryam."
Aku tanya apakah dia bisa berbahasa Inggris? Ternyata alhamdulillah bisa walau tidak lancar. Akhirnya kami mengobrol dalam bahasa campuran. Inggris dan Arab. Muslimah yang baik hati ini adalah warga negara Palestina. Beliau tinggal dipengungsian dan berprofesi sebagai guru. Dia bersyukur mendapat kesempatan untuk beribadah umroh.Â
Ada pertanyaan menarik darinya kepada Teteh, "Sudah bisa membaca Al-Qur'an sejak kapan? Hafal berapa juz?" Aku bilang, "Alhamdulillah ini sudah khatam Al-Qur'an dan hafal juz 30." Kembali dia mengelus kepala Teteh dan berseru riang, "Masyaallah ... Barakallah Maryam ..."Â
Adzan isya berkumandang, obrolan kami terhenti. Selepas shalat dia pamit. Aku berikan beberapa bros rajutan sebagai tanda sayang untuknya. Dia senang sekali. Teteh dipeluk dan dicium sayang. Aku pun berpelukan erat. Dia berkata, "Semoga kalian bisa berkunjung ke Baitul Maqdis, shalat di Masjid Al-Aqsha." Tak terasa ada embun di mataku ... Tercekat. Akhirnya tak kuasa mengalir juga air mata membasahi jilbabku. Aamiin ... Ya Rabbal'alamin ... Semoga Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Pemberi Karunia mengabulkan doanya.
Diperjalanan pulang ke hotel, aku ceritakan kepada Teteh. Waktu Kaka masih SMP ada aksi solidaritas Palestina. Saat itu penjajah Israel melakukan pengeboman dan banyak sekali korban berjatuhan, bahkan meninggal dunia. Mereka kebanyakan adalah anak-anak tak berdosa. Sungguh sedih sekali ...
Kaka menulis puisi yang diberi judul ; 'Selamatkan Palestina'.