Sayang sekali sekarang Masjidil Haram dan Ka'bah malah dikelilingi bangunan komersial. Harusnya dibuat area terbuka di mana para jamaah Haji maupun umroh sudah bisa melihat bangunan masjid dari kejauhan bukannya terhalang oleh bangunan lain.
Kenanganku saat menunaikan ibadah haji masih ada bangunan rumah tempat Nabi Muhammad dilahirkan. Bangunan itu dijadikan perpustakaan umum. Kini bangunan tersebut sudah tiada ... So Sad ... Rasaku ini juga diungkapkan oleh Sami Angawi seorang pakar Makkah dan pendiri pusat penelitian Haji dan Umroh. Dia tak lagi menginjakkan kaki di kota kelahirannya ini sejak tahun 2009 karena merasa tidak nyaman dan tidak sepakat dengan konsep perkembangan kotanya. Dia tak senang dengan cara Makkah bertransformasi yang kerap menggusur bangunan/tempat bersejarah.
Tentu sejarah perkembangan Islam tak lepas dari kota ini ... Sayang sekali jika itu dihilangkan begitu saja. "Saya mencintai Makkah dan tak tahan melihat Kota Nabi ini dihancurkan," kata Angawi. Satu lagi bangunan yang hilang tanpa jejak adalah Benteng Ajyad yang dibangun pada 1781 oleh Kerajaan Turki Utsmani. Bangunan bersejarah ini digusur pada tahun 2002.Â
Sejatinya jamaah haji yang melaksanakan puncak ibadah benar-benar merasakan bahwa 'super big clock' jam raksasa yang sesungguhnya bukanlah 'Makkah Royal Clock'. Sehari sebelum ke Arafah jamaah haji akan melakukan mabit semalam di Mina jika mengikuti sunnah Rasulullah. Tepat setelah salat subuh yang ditandai dengan terbitnya fajar di ufuk Timur, jamaah haji akan bergerak menuju Arafah dengan berjalan kaki. Pengalamanku berjalan kaki pp dari Makkah - Mina - Arafah - Mudzdalifah - Mina - Makkah ada di sini.Â
Jam raksasa di depan Masjidil Haram itu bukanlah penentu waktu rangkaian ibadah haji. Jam buatan manusia: yang bisa saja alpa atau salah patut dipertanyakan maksud dan tujuan pembuatannya. Betapa Allah Yang Mahakuasa lagi Mahaperkasa telah memilih jam super raksasa yang sesungguhnya yaitu matahari sebagai acuan tak tergoyahkan dalam menentukan waktu rangkaian ibadah haji. Wukuf di Arafah dari dzuhur hingga maghrib saat matahari terbenam, selepas itu dilanjutkan mabit semalam di Mudzdalifah hingga salat subuh.Â
Tak ada atap dan dinding pembatas antara diri ini dengan alam ciptaan-Nya. Tubuh bersentuhan dengan pasir nan lembut, berselimut dinginnya hawa gurun, beratap langit dihiasi milyaran bintang. Ini adalah hotel terbaik versi Illahi Rabbi. Pakaian ihram dua lembar untuk laki-laki mencerminkan kelak ketika kita kembali kepada Allah Yang Maha Pencipta lagi Mahamulia juga hanya dengan lembaran kain seperti itu.Â
Semua atribut dunia, pangkat, jabatan, harta kekayaan, keturunan, dan kegagahan tubuh telah ditanggalkan semua. Di sini jiwa dan raga benar-benar bergerak ditentukan oleh kuasa-Nya melalui perhitungan pergeseran matahari dari sejak terbit di timur hingga terbenam di barat.Â
Sekali lagi ... Bila kita menyadari penuh rangkaian puncak ibadah haji, maka tak akan ada lagi kesombongan dan berbangga diri di hadapan sesama. Tak lagi bisa semena-mena melanggar perintah dan larangan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Siapa diri ini? Hanya hamba yang senantiasa berharap ketika harus pulang menghadap dipanggil-Nya dengan seruan terindah: "Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al FAjr 89:27-30).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H