Akhir pekan sebelum wabah pandemi Covid-19 datang. Aku mengajak si bungsu keliling kota Jakarta menggunakan moda transportasi umum. Kami memilih beberapa jenis moda, pertama dari rumah kami berjalan kaki. Ingat pesan Pa Anies Baswedan, bahwa kaki adalah alat transportasi terhebat dan paling praktis. Ke mana kita akan melangkah ?; Maka kaki akan menemani .Â
Rumah kami tak jauh dari halte Transsjakarta Pasar Kramatjati. Kurang lebih 300 meter kami sudah menempelkan kartu untuk masuk ke dalam halte. Duduk sebentar menanti Tj jurusan Kampung Rambutan - Blok M. Tak lama datang bis berwarna biru ... Pintu terbuka dan traalalaaaa ... Hawa dingin menyeruak dari dalam bis. Adem sekali bis yang kami tumpangi ini. Alhamdulillah ... Tempat duduk juga banyak yang kosong.Â
Perjalanan sekitar satu jam, sampailah di Terminal Blok M. Lalu kami berjalan menuju stasiun MRT. Apa itu MRT ?; Aku bertanya kepada Teteh (panggilan sayang anakku). 'Gak tahu Bu ...'. Â MRT singkatan dari Moda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit. Kereta yang digunakan diberi nama Ratangga dalam bahasa Jawa kuno berarti kendaraan beroda. Waaaahhh ... Teteh senang sekali menyusuri pedestrian dengan deretan toko jadul. Keren! Begitu ungkapnya saat kami menaiki lift menuju lantai stasiun.
Stasiun berada di lantai tiga didesain dengan atap tenda. Beberapa tempat duduk disiapkan untuk penumpang yang masih menunggu kereta datang. Oya ... tadi di lantai dua Teteh sempat membaca sekilas buku yang disediakan oleh pengelola. Asyik juga nih ... Jika harus menunggu lama, kita bisa membaca untuk mengisi waktu.
Nah ... Kondisi kota Jakarta yang -katanya macet dan padat lalu lintas tentu harus disiasati dan diberi solusi. Moda transportasi umum adalah salah satu solusi tepat guna dan harus didukung. Walau kami ada kendaraan pribadi, mobil dan motor. Namun alangkah bijak bila lebih sering menggunakan transportasi umum untuk bepergian.Â
Tujuan kami kali ini adalah Bunderan HI. Kereta pun sudah datang. Senangnya Teteh menaiki kereta yang bersih, wangi, aman, dan nyaman. Pemandangan di luar jendela kereta masih bisa dilihat hingga Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru.Â
Perlahan kereta menurun dan memasuki terowongan gelap. Lampu-lampu di dalam gerbong pun menyala terang. Tak lama berselang setelah di beberapa stasiun kereta menurun dan menaikkan penumpang, sampailah kami di stasiun akhir Bunderan HI.