Ini kisah yang menegangkan tentang anak perempuan saya Meutia, sore tadi. Usianya baru 10 tahun, tapi ia sudah berani bersepeda ke sekolah yang jaraknya dua kilometer dan ke rumah teman-temannya. Setelah makan siang bersama temannya Tiara, ia pamit bermain di rumah Tiara, di sebuah kompleks sekitar dua kilometer dari kompleks tempat kami tinggal. Karena sudah terbiasa bersepeda dengan jarak demikian, saya tidak khawatir dan mengijinkan mereka pergi bersepeda tanpa merasa perlu dibekali handphone.
Tak lama setelah meninggalkan rumah, hpnya berbunyi, ternyata dari temannya Izza yang tinggal di sebuah kompleks berjarak sekitar tujuh kilometer dari rumah. Dia menanyakan Tia dan bilang bahwa Tia akan ke rumahnya. Saya bilang Tia sedang ke rumah Tiara, nggak mungkinlah ke rumah Izza karena jauh dan jalannya ramai.
Saat tidur siang, saya terbangun mendengar suami sedang menelpon seseorang dan berpesan agar menyuruh Tia pulang. Saya heran, baru jam setengah empat kok sudah disuruh pulang? Katanya Tia ada di rumah Izza, barusan bicara dengan ibunya. Astaghfirullah.... saya kaget luar biasa, nekad sekali anak itu ! Selain jaraknya cukup jauh, jalan yang dilalui untuk ke rumah Izza sangat ramai, padat, banyak kendaraan besar karena merupakan jalur ke luar kota. Apalagi sebentar lagi jam pulang kantor, betapa cemasnya saya membayangkan anak perempuan saya membonceng temannya di jalan yang begitu ramai. Saya hanya bisa berdoa meminta perlindungan-Nya dan mengharap dia segera pulang dengan selamat.
Jam enam kurang seperempat dia belum pulang, saya menghubungi rumah Izza. Katanya sudah pulang sejak jam lima. Saya berpikir, dia masih di jalan, bersepeda menembus kemacetan jalan dan hal itu menambah kecemasan saya. Jam setengah tujuh, sudah mulai gelap dan dia belum pulang juga, saya mulai panik. Saya telepon lagi Izza, menyampaikan kekhawatiran saya, katanya ditunggu papa Tiara kok di depan. Saya berpikir papa Tiara menunggu di depan kompleks rumahnya, jadi tidak mengurangi kecemasan saya. Mau disusul ke kompleks itu, alamat lengkapnya juga tidak tahu. Akhirnya saya teringat untuk minta no hp atau telepon rumah Tiara, tetapi Izza juga tidak punya. Dia mau tanya temannya, dan saya harus menunggu lagi dalam keadaan yang lebih cemas. Seperempat jam kemudian, baru muncul sms yang memberitahukan no hp Tiara, dan saat saya membalasnya untuk mengucapkan terima kasih, terdengar suara Tia pulang.
Alhamdulillah.... akhirya Tia pulang dengan selamat, diantar Tiara dan papanya. Dia heran melihat saya menangis dan minta maaf pulangnya kemaleman karena sholat magrib dulu di rumah Tiara.
Yang ingin saya sampaikan di sini bukan tentang kecemasan saya, tetapi apa yang menyebabkan kecemasan itu. Saat saya mengetahui Tia ada di rumah Izza, saya langsung berpikir bahwa dia bersepeda membonceng temannya, nekad melalui jalan yang sangat padat dan banyak kendaraan besar, berusaha mengendalikan sepedanya saat menghindari jalan berlubang, banyak ngerem saat jalan mulai macet karena bertepatan dengan jam pulang kantor, menggunakan tepian jalan yang tak beraspal untuk menghindari kemacetan dan berkali-kali diklakson orang. Itu yang berada dalam pikiran saya yang ternyata TIDAK SAMA dengan keadaan yang sebenarnya. Rupanya dia meninggalkan sepedanya di rumah Tiara dan diantar ke rumah Izza dengan sepeda motor oleh papa Tiara. Jam lima ditunggu papa Tiara di depan kompleks rumah Izza untuk kembali ke rumah Tiara. Jadi kecemasan saya disebabkan oleh apa yang saya pikirkan, bukan oleh realita yang sebenarnya.
Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari, kita bereaksi terhadap apa yang kita pikirkan, bukan pada apa yang terjadi sebenarnya. Dalam ilmu NLP, dikenal presuposisi yang mengatakan "The map is not the teritory". Artinya, peta bukanlah wilayah yang sebenarnya. Peta memang menggambarkan suatu wilayah, tetapi bukan wilayah itu sendiri. Apa yang kita pikirkan, bukanlah kejadian yang sebenarnya, karena sudah dipengaruhi oleh persepsi atau pemaknaan dari diri kita terhadap hal tersebut. Itu yang menyebabkan respon setiap orang terhadap satu kejadian akan berbeda, karena dipengaruhi oleh pemaknaan yang berbeda terhadap situasi tersebut.
Dengan pemahaman di atas, hendaknya kita tidak mudah menilai seseorang, karena apa yang kita ketahui belum tentu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Begitu pula jika orang lain menilai kita, tak perlu diambil hati dan menjadikan hubungan menjadi kurang baik. Dimaklumi saja, karena mereka juga tidak tahu keadaan yang sebenarnya tentang diri kita. Masing-masing orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai suatu hal, memberi pemaknaan yang berbeda, sehingga akan memberikan respon yang berbeda pula.
Sungguh menarik melihat salah satu di antara berjuta keunikan manusia, dan selamat menikmati indahnya kehidupan dengan menggunakan peta mentalnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H