"Ndoro, hari minggu saya diajak Juki puter-puter Jakarta. Boleh ya?" Pemuda itu mengiyakan, dengan pandangan tak beralih dari televisi yang menayangkan berita penangkapan dramatis pelaku teroris. Miris.Â
"Saya pengen lihat gajah," ujar Munah lagi sembari melap koleksi miniatur mobil balap kesayangan majikannya yang berderet rapi di almari pajangan.Â
"Kebun binatang? Ragunan?" tanya si pemuda tatapnya masih fokus pada layar flat di depannya. Kemudian meraih cangkir yang masih mengepul di meja.Â
"Bu ... kann, Museum Gajah!" sahut Munah antusias.
"Brutt, aww." Entah saking kaget, takjub atau kepanasan, sang tuan menyemburkan minumannya seketika. Lalu berteriak kecil, karena sebagian cairan mengenai kulit lengannya.Â
"Ya ampun, Ndoro... nggak papa kan?! Itu ... masih panas Ndoro, hati-hati!" teriak Musnah histeris sedikit lebay. Dengan sigap dilap-lapnya lengan si pemuda dengan raut kuatir.
"Ish! Apaan sih, Nah. Itu kan kotor!" ditepisnya lap di tangan Munah yang meringis memamerkan gigi gingsulnya.
"Munaah, itu namanya Museum Nasional, sebagian orang menyebut Museum Gajah, karena ada patung gajah di bagian depannya. Di museum itu dipamerkan koleksi benda-benda berumur puluhan bahkan jutaan tahun lalu. Benda dari zaman prasejarah sampai masa kini ada semua di sana."Â
Dengan seksama, Munah mendengarkan orasi panjang pemuda yang serius menjelaskan disertai tangannya aktif bergerak memeragakan. Udah kayak pak guru ngajar murid TPA, eh SD. Munah mengangguk-angguk, tanda kebingungan. Hiks.Â
"Ooh, he ... jadi bukan tempat para gajah ya. Ah Juki nggak bilang!" Munah bergumam, sambil menggaruk-garuk kepalanya.Â
Ndoro menghela napas pendek, "Ya, udah, pokoknya nggak akan nyesel jalan-jalan ke museum, bisa piknik sekaligus dapat ilmu. Besok saya kasih saku."Â