Langkah kaki ku terasa gontai saat melangkah kaki menuju asrama tempat tinggal ku selama hampir 3 tahun terakhir. Satu, dua, tiga, empat hingga 35 anak tangga aku lewati. Sore itu langit mendung, pertanda akan turun hujan. Tapi prediksiku salah ternyata, Â hujan turun lebih cepat dan lihatlah aku pulang dengan basah kuyup akibat berani menerobos ribuan air hujan yang sedang terjun payung. Biarlah fikirku, kalau sakit ya memang siklus kan ?
Selama tiga hari terakhir aku pulang sore dan berbarengan dengan sang hujan, mau bagaimana lagi karna memang jadwal kuliah yang mengharuskan ku pulang menjelang magrib.
Sesampainya di kamar aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian lalu menghadap sang ilahi. Sholat maksudku. Sembari menunggu hujan reda aku duduk menghadap jendela. Langit benar-benar gelap, tak ada rembulan apalagi rasi bintang. Yang ada hanya pertunjukan kilat dan rombongan paduan suaranya.
Masih duduk di kursi yang sama, banyak hal aku fikirkan. Tentang sanak family nun jauh disana. Tentang nasib teman-temanku yang entah bagaimana cara mereka pulang. Tentang aktivitas ku yang seolah tiada henti. Tentang hujan dan dia. Juga tentang Ramadhan yang tinggal hitungan jari lagi.
Ini tahun ke tiga aku tak mengawali puasa bersama keluarga. Meski sebenarnya tahun ke sembilan. Wah ternyata sudah lama ya, kalau seandainya awal puasa aku tak bersama keluarga lalu  tumbuhlah satu ekor setiap satu tahun maka saat ini aku sudah setara dengan Naruto sang hokage ke tujuh, si rubah berekor sembilan.
Masa kecil dan Ramadhan memang menyenangkan. Dua elemen tak bisa terpisah dari memory hidup. Tiba-tiba aku teringat hari pertama ku belajar puasa. Saat itu umurku 5 tahun. Belum wajib puasa ujar ayahku, tapi aku ngotot mau puasa karna takut tak diajak masuk surga. Selain itu, aku iri melihat abang ku saat puasa dia begitu di istimewakan sampai-sampai semua orang lupa denganku. Untuk menyemangatiku ibu memberi upah sebesar 2000 rupiah setiap hari.
Sehari menjelang Ramadhan, bedug sengaja dibunyikan pertanda nanti malam akan digelar sholat tarawih. Anak-anak kecil sore itu berkumpul dan bermain dengan gembira. Di masjid yang sederhana, tapi luar biasa. Suasana Ramadhan telah menjalar hingga penjuru desa. Karena haus maka aku membeli minuman jelly di warung dekat masjid. Setelah lelah bermain kami pulang ke rumah.
Setelah sholat magrib, tiba-tiba aku merasa mual dan kemudian muntah. Badan ku terasa ringan sekali. Ibuku bilang kemungkinan aku keracunan makanan atau makan makanan yang sudah kadaluarsa. Ternyata jelly yang ku makan tadi sore. Â Akibatnya aku tak bisa ikut sholat tarawih dan puasa selama 3 hari. Aku hanya terbaring di tempat tidur. Fisik ku lemah, setelah berobat berangsur aku sembuh.
Tapi hal yang paling aku sedihkan adalah tak dapat menjalani puasa yang ku inginkan. Aku menangis dan takut tak dapat masuk surga. Juga sedih karna uang 2000 selama 3 hari yang ibu janjikan hangus. jangan protes, waktu itu aku masih kecil jadi wajar saja.
Ketika aku beranjak umur 8 tahun pertama kali aku mampu puasa sebulan penuh. Tapi sebenarnya tidak, setelah kuingat-ingat aku berbohong satu hari puasa pada ibu hingga saat ini ibu tak mengetahuinya. jadi begini pada saat itu panas matahari terik sekali, tapi aku dan Latifa teman ku tetap melanjutkan permainan kami. Dia memang tidak puasa hari itu. Lelah bermain aku pun duduk diberanda rumahnya. Dia mengajak ku masuk ke dalam rumah dan menawariku air minum.
" Ayu, nih air minum" kata Latifah menawariku